Bagaimana dengan barang tidak halal?
JIC, JAKARTA— Kantor Wakil Presiden, yang terlibat dalam pembuatan PP JPH, menjamin produk yang tidak halal dan tidak lolos sertifikasi halal tetap bisa dipasarkan.
“Tetap boleh dipasarkan di Indonesia, dengan mencantumkan logo atau simbol tertentu. Kita menghindari terminologi ‘haram’ dan ‘tidak halal’ di sini. Logo atau simbol saat ini sedang dalam proses finalisasi,” ujar Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi dan Keuangan, Wijayanto Samirin.
Pengamat Islam Moderat, Neng Dara Affiah, mengatakan pelabelan seperti tersebut membuat segregasi masyarakat, khususnya antara umat Islam dan non Islam.
“Ini akan menimbulkan segregasi kelompok yang tidak dominan,” ujarnya.
“Negeri ini kan bukan semua muslim, negeri ini bukan negara Islam juga.”
Pernyataan tersebut dibantah oleh Staf Khusus Wakil Presiden, Wijayanto Samirin.
“Yang memikirkan PP dan turunannya adalah orang-orang rasional, yang ingin memastikan ketentuan baru ini tidak menimbulkan segregasi sosial atau hambatan berusaha,” ujarnya.
“Konsepnya halalan toyyiban, produk yang sehat tentunya mendatangkan manfaat bagi semua,” katanya.
Kepala BPJPH Sukoso mengatakan peraturan ini akan diberlakukan secara bertahap.
Untuk makanan dan minuman diberi waktu untuk dibina memenuhi standar Halal selama lima tahun dihitung dari tahun ini.
Untuk produk selain makanan dan minuman, BPJPH masih mendiskusikan tahapan penerapannya dengan sejumlah menteri terkait.
“Jangan diartikan 17 Oktober 2019…bim salabim bersertifikat halal semua. Jadi diberi tahapan waktu,” ujarnya.
Lantas bagaimana jika ada pengusaha yang menolak melakukan sertifikasi halal hingga tenggat waktu yang diberikan?
Menurut Wijayanto Samirin, yang akhirnya bekerja adalah mekanisme pasar
“Karena masyarakat Indonesia mulai concern dengan sertifikasi halal, nanti produk-produk yang sudah lolos sertifikasi akan mempunya posisi tawar di pasar yang lebih tinggi,” ujarnya.
Siapa berwenang tentukan Halal/Haram?
Jika sebelumnya sertifikasi halal dilakukan melalui satu pintu, yakni LPPOM MUI, kedepannya proses sertifikasi dikelola melalui BPJPH di bawah Kementerian Agama.
Proses analisis kandungan suatu produk, nantinya bisa dilakukan oleh badan di luar MUI, seperti universitas dan yayasan yang mendapat akreditasi MUI.
Meski begitu, produk tersebut tetap harus mendapatkan fatwa halal dari MUI.
Wakil Direktur LPPOM MUI, Sumunar Jati, mengatakan saat ini biaya sertifikasi halal bervariasi sesuai kerumitan pemeriksaan kandungan produk.
Biaya yang paling tinggi, katanya, bisa mencapai Rp 5 juta untuk satu produk barang. Sertifikasi itu harus diperbarui tiap dua tahun.
Saat ini, BPJPH masih menyusun biaya yang akan ditetapkan untuk sertifikasi wajib.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat, mengatakan perusahaan-perusahaan besar memang kebanyakan sudah melakukan sertifikasi halal.
Namun, kata Rachmat, berjuta-juta pengusaha masuk kategori kecil dan menengah, dan mereka belum memiliki sertifikat halal.
“Concern-nya adalah di biaya dan proses,” ujar Rachmat.
Para pengusaha, kata Rachmat, juga khawatir dengan adanya potensi sweeping terhadap produk yang tidak berlabel halal, meski dari segi regulasi mereka akan diberi waktu transisi.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja mengatakan para pengusaha masih menunggu Peraturan Menteri Agama yang akan mengatur teknis pelaksaan regulasi jaminan produk halal.
Ia berharap regulasi ini tidak membebani para pengusaha.
“The fact bahwa kita mau mengembangkan industri halal adalah hal yang baik. Tapi itu bukan berarti bahwa semua produk harus menjadi halal. Itu tergantung jenis produknya apa,” kata Shinta.
“Jangan kemudian menjadi hambatan untuk pengusaha yang mau berinvestasi lebih lanjut…Ini harus diatur,” katanya.
Staf Khusus Wakil Presiden, Wijayanto Samirin, mengatakan pemerintah akan mengupayakan agar biaya sertifikasi, terutama untuk UMKM, tidak memberatkan.
Pemerintah, tambahnya, juga akan menyiapkan antisipasi terhadap aksi-aksi sweeping produk tidak halal.
Pengamat Islam moderat, Neng Dara Affiah, berujar sertifikasi sebetulnya tidak diperlukan.
Menurutnya, setiap perusahaan hanya perlu memberi informasi terkait apa yang terkandung dalam makanan, juga tanggal kadaluarsanya.
“Pelabelan seperti ini kadang-kadang dimanfaatkan sekelompok orang, terutama para elit untuk ‘proyekan’,” ujarnya.
Potensi ekonomi besar
Sebulan setelah menandatangani PP JPH, Presiden Joko Widodo meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024.
Mengutip Menteri Bappenas, Presiden mengatakan, potensi ekonomi syariah tinggi dan di tahun 2023 akan mencapai 3 triliun dollar (sekitar Rp 45.000 triliun).
Saat ini, menurut data Indikator Global Ekonomi Islam 2018-2019, Indonesia masih berada di posisi 10 dalam peringkat ekonomi syariah dunia.
Menurut data yang sama, di tahun 2017, masyarakat Indonesia mencatatkan pengeluaran sebesar US$218.8 miliar (di atas Rp 3.000 triliun) pada sektor ekonomi Islam.
“Saya kira ini menjadi sebuah step untuk kita memasarkan produk-produk kita yang sudah banyak. Sehingga kita tidak hanya menjadi negara konsumen terbesar produk halal global, tetapi juga menjadi produsen terbesar…” kata Jokowi seperti dikutip dari setkab.go.id.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan, mengatakan yakin regulasi yang mewajibkan sertifikat halal akan mendukung eskpor produk Indonesia.
Salah satu pasar potensial yang ingin ditembus pemerintah adalah Timur Tengah, utamanya Arab Saudi, mengingat saat musim haji saja, lebih dari 200.000 WNI berada di sana.
“Kalau saya hitung, dari pemenuhan kebutuhan haji saja, saya harapkan peningkatan ekspor halal Indonesia ke Arab Saudi dan Timur Tengah bisa tumbuh lima persen,” ujarnya.
‘Halal dan Haram jangan dijadikan bisnis’
Pengamat Islam moderat Neng Dara Affiah mengkritisi pertimbangan ekonomi sebagai salah satu dasar menerapkan kewajiban sertifikasi.
“Kehalalan dan keharaman itu bukan untuk bisnis, (tapi) untuk memastikan makanan tidak mengandung bahaya apapun,” ujarnya.
“Itu namanya memanfaatkan agama untuk kepentingan dagang. Menurut saya justru menyalahi hakikat agama.”
Neng Dara mengatakan konsep halal haram utamanya mengatur apa yang dimakan atau minum itu baik dan sehat.
Pernyataan itu dibantah oleh Staf Khusus Wakil Presiden, Wijayanto Samirin.
“Sama sekali tidak ada interest ke sana (kapitalisasi agama)…Regulasi ini muncul untuk mempermudah proses dan meningkatkan kepastian terkait sertifikasi halal,” ujarnya.
Laporan ini merupakan seri pertama liputan khusus menguatnya konservatisme Islam dalam 74 tahun kemerdekaan Indonesia.
sumber : bbcindonesia.com