SNOUCK HURGRONJE DAN SEBUTAN SANTRI (2)

0
219

JIC, JAKARTA- Dalam beberapa catatan sejarah selama Indonesia terjajah, umat Islam khususnya kalangan pesantren kerap bersinggungan dengan penjajah karena sikapnya yang tidak mau takluk begitu saja. Bahkan, pesantren menjadi wadah pergerakan nasional untuk membebaskan diri dari kungkungan penjajahan.
Interaksi kalangan pesantren dengan intensitas cukup masif terjadi saat Indonesia dijajah oleh Nippon atau Jepang. Hal ini disebabkan, Jepang mempunyai perhatian khusus terhadap peran penting tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Sama halnya ketika Hindia Belanda menugasi Snouck Hurgronje.
Untuk menindaklanjuti sorotannya terhadap para kiai dan tokoh umat Islam, Jepang menempatkan sejumlah perwira Muslim untuk menempel para tokoh Islam sebagai agen inteligen Jepang (Beppan). Para intel ini tidak hanya mengawasi gerak-gerik para tokoh Islam, tetapi juga kerap mengikuti forum-forum pengajian.
Sebut saja Haji Saleh Suzuki dan Abdul Mun’im Inada. Nama terakhir punya tugas memepet Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Kala Jepang mendarat, Inada langsung mengunjungi Habib Ali disertai Kolonel Horie, perwira Jepang yang ditugaskan mengurusi perkara Islam di Indonesia. (Buku Seri Tempo: Wahid Hasyim, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 2011)
Salah seorang perwira Muslim Jepang ialah Nobuharo Ono yang mempunyai nama Muslim Abdul Hamid Ono. Ia bertugas mengawasi KH Hasyim Asy’ari yang dianggap oleh Jepang sebagai tokoh Muslim yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Indonesia.
Namun berjalannya waktu seperti disebutkan H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasjim(2011) memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH Wahid Hasyim, putra sulung Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, bersama KH Wahab Chasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta.
Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah Hadratussyekh digelandang dari Pondok Pesantren Tebuireng.
Dalam kondisi menjajah atau perang, praktik spionase memang kerap dilakukan. Namun, praktik ini tidak selamanya membuahkan hasil karena para ulama lebih cerdik. Meskipun para mata-mata memahami bahasa Arab, kiai di kalangan pesantren lebih memahami bahasa Arab, termasuk ungkapan dan peribahasanya dari kata per kata sehingga strategi perlawanan tidak mudah untuk dipahami spionase. (Fathoni)
sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here