Negara atau Perusahaan?
Menyimak polemik ini, yang paling menyedihkan adalah dua hal berikut ini. Pertama, tuduhan bahwa yang tidak setuju Permendikbud Ristek No. 30 ini berarti tidak setuju pada pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual di kampus-kampus, termasuk tuduhan kepada Muhammadiyah dan Aisyiyah. Padahal, Muhammadiyah dan Aisyiyah-lah yang selama ini paling getol dan konsisten menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk di dalamnya dari kekerasan dan kejahatan seksual. Lagipula, tuntutan Muhammadiyah dan Aisyiyah pada Permen dimaksud selama ini jelas, fokus kepada substansi ayat 5 dan cara bagaimana Permen ini dihasilkan–bukan pada keseluruhan isi Permen.
Kerap kali kebijakan semacam ini tidak melalui proses yang melibatkan pihak-pihak terkait, misalnya unsur perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil seperti Muhammadiyah dan Aisyiyah, dan lainnya. Padahal, dalam logika demokrasi dan pembuatan kebijakan publik modern, pemerintah tidak bisa hanya sepihak membuat kebijakan tertentu tanpa melibatkan kelompok masyarakat sipil, pers, dan lainnya. Seperti polemik Peta Jalan Pendidikan, Kampus Merdeka, Program Organisasi Penggerak, yang dipersoalkan adalah bahwa semua itu relatif cacat prosedural karena dibuat tanpa melibatkan pihak-pihak terkait. Polemik Permendikbud Ristek No. 30 ini menambah daftar panjang persoalan formal prosedural itu.
Kedua, ancaman turunnya akreditasi bagi kampus-kampus yang tidak setuju dan tidak ikut Permendikbud Ristek No. 30 ini. Katakanlah Muhammadiyah dan Aisyiyah tidak setuju, maka ancaman itu menyasar pula kampus-kampus Muhammadiyah dan Aisyiyah di seluruh Indonesia.
Logikanya begini, Muhammadiyah ini berdiri sejak 1912, bahkan sebelum Republik ini merdeka, selama 109 tahun berkhidmat di bidang pendidikan membantu mencerdaskan anak-anak bangsa. Muhammadiyah selama ini membantu negara, bahkan tanpa meminta biaya negara. Apakah sekarang saat Muhammadiyah tidak setuju satu peraturan menteri karena dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama, lantas pemerintah menghukum Muhammadiyah, organisasi yang selama ini justru membantu negara dalam hal pendidikan? Ini sikap negara atau perusahaan yang bisa menghukum bawahannya yang tidak menurut?
Akhirnya, polemik ini harus diakhiri dengan satu pertanyaan belaka, bukan oleh debat-debat canggih tentang siapa yang paling membela korban atau mengabaikan korban kekerasan seksual. Pertanyaan itu adalah: Apakah negara ini diseret kepada logika kebijakan yang sekuler, mengabaikan nilai-nilai agama, atau kita masih setia pada Pancasila dan UUD 1945 yang mengamanatkan pentingnya peran agama dalam negara dan pemerintahan kita?
Jika ada pihak-pihak yang merasa tersinggung atau dirugikan dengan tulisan saya ini, saya mohon maaf. Mohon maaf karena saya menulis ini ‘tanpa persetujuan korban’.
Sumber : suaramuhammadiyah.id