PEMIMPIN ISLAMIC CENTRE ITU TELAH PERGI…

0
300

Sabtu, 15 Januari 2011 jam 03.35 WIB dari RSPAD Gatot Subroto, warga DKI Jakarta, khsusunya masyarakat Betawi ditinggalkan oleh salah satu putra terbaik mereka. Mayjen (Purn) dr. H. Djailani, mantan wagub Propinsi DKI Jakarta Bidang Kesra di era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (1997-2002) dan mantan Kepala BP Jakarta Islamic Centre (JIC) menghembuskan nafas terakhirnya. Sabtu, 15 Januari 2011 jam 03.35 WIB dari RSPAD Gatot Subroto, warga DKI Jakarta, khsusunya masyarakat Betawi ditinggalkan oleh salah satu putra terbaik mereka. Mayjen (Pur) dr. H. Djailani, mantan wagub Propinsi DKI Jakarta Bidang Kesra di era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (1997-2002) dan mantan Kepala BP Jakarta Islamic Centre (JIC) menghembuskan nafas terakhirnya. Pada malam harinya, di tengah ratusan jama`ah TQN Suralaya Korwil DKI Jakarta pada acara manaqiban yang akan dirutinkan di Masjid Al-`Araf, Toko Walisongo, Kwitang, KH. Wahfiudin Sakam menyatakan bahwa ketika dia menghadiri pemakakam almarhum di Taman Makam Pahlawan Kalibata sesaat setelah jenazah dikubur, turunlah hujan rintik-rintik, itulah salah satu tanda bahwa almarhum dr. H. Djailani merupakan orang shalih. Apalagi menurut KH. Wahfiudin Sakam, selama hidupnya beliau adalah hidupnya wajar-wajar saja, lurus walau menjadi petinggi di militer dan di birokrat.

Kehilangan sangat dirasakan pula oleh para pengurus Forum Komunikasi dan Kerjasama Islamic Centre se-Indonesia (Forum Isamic Centre), baik DPP, DPW-DPW dan DPD yang telah terbentuk karena seharusnya almarhum adalah pemimpin mereka sampai tahun 2012. Namun, karena kesehatatan beliau mulai memburuk, almarhum mengundurkan diri dan kepemimpinan Forum Islamic Centre diserahkan kepada KH. Mahrus Amin, pemimpin Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Barat, dan sekretariat forum ini juga berpindah dari JIC ke pondok pesantren tersebut. Jasa beliau terhadap Forum Islamic Centre juga sangat besar, karena berkat jasa beliau lah forum ini dapat terbentuk melalui serangkaian pertemuan, seminar silaturahim dan musyawarah nasional masjid-masjid raya dan Islamic Centre se-Indonesia yang difasilitasi oleh JIC yang dipimpinnya.

Untuk mengenal sosok beliau tidak lah sulit. Ada dua biografinya, yaitu yang berjudul Djailani: Berpijak pada Akar dan Memori Wakil Gubernur Popinsi DKI Jakarta Bidang Kesejahteraan Masyarakat Masa Bakti 1997-2002. Di biografi pertama, dari judulnya, kita akan mengetahui secara lengkap tentang perjalanan hidup beliau dari kelahiran, pendidikan, aktivitasnya di dunia organisasi sampai karirnya di dunia militer. Untuk pendidikan, beliau menempuhnya dari Sekolah Rakyat (SR) sampai kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Untuk aktivitas organisasi, beliau aktif di HMI, Yayasan MH Thamrin, dan sebagainya. Sedangkan karir di milter, beliau mulai dari Pendidikan Dokter Angkatan Darat (PDAD) mendapat pangkat dari Letnan Satu CKM sampai terakhir Mayor Jenderal (Mayjen) pada tahun 1996. Sebagai prajurit, beliau telah ditugaskan di berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Maluku dan Aceh, sampai kembali ke Jakarta dengan mengemban tugas sebagai Kepala RSPAD Gatot Subroto, tempat yang kemudian mengantarkannya kembali ke Sang Khalik. Walau karirnya di militer begitu cemerlang, menurut orang-orang yang mengenalnya, beliau tetaplah sosok yang bersahaja yang selalu berpijak pada akar. Pada biografi yang kedua, kita akan mengetahui kegiatan-kegiatan beliau secara terperinci selama menjabat sebagai Wakil Gubernur Propinsi DKI Jakarta Bidang Kesejahteraan Masyarakat.

Tentu saja, kolom ini tidak akan cukup untuk memuat secara lengkap tentang sosok beliau. Yang pasti, siapapun yang pertama kali bertemu dengan beliau dengan perawakannya yang tinggi, kulit putih dan wajah yang kebarat-baratan, akan mengira beliau memiliki darah Eropa seperti yang disangka oleh almarhum KH. Abdurrahim Radjiun atau bukan berasal dari Betawi. Padahal, beliau benar-benar putra Betawi asli yang lahir di kampung Slipi, Jakarta pada tanggal 17 Juni 1942 dari pasangan H. M. Napis dan Hajah Fatimah. Ayahnya memberikan nama tunggal untuknya, Djailani. Nama ini diberikan karena ayahnya mengagumi sosok Syekh Abdul Qadir Jailani, kekaguman yang sama yang dimiliki orang-orang Betawi lainnya terhadap sufi besar ini sebagaimana yang telah diteliti oleh Ridwan Saidi. Harapannya. tentu saja, Djailani dari Slipi ini akan sehebat Syekh Abdul Qadir Jailani. Harapan yang terlihat, walau jauh dari kehebatan Syekh Abdul Qadir Jailani, ketika pengabdian di ujung hayatnya beliau lebih memiliki mengabdi di JIC sebagai pengurus masjid, dekat dengan para ulama, dan tidak sungkan untuk mendengar keluhan dari para jama`ah yang berasal dari lapisan paling bawah sekalipun.. Kini beliau telah pergi meninggalkan kita dengan segudang kearifan yang diwariskan untuk para pengurus Islamic Centre se-Indonesia dan ummat Islam tentunya. Inna Lillaahi Wa Inna Ilahi Rooji`uun, selamat tinggal Pak Djailani, kami semua merindukanmu. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Staf Seksi Pengkajian Bidang Diklat JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here