Salah satu wirid yang diamalkan oleh kaum muslimin yang bersumber dari Al-Qur`an dan juga Al-Hadits adalah wirid Al-Asmaul Husna. Di antara landasan untuk menjadikan Al-Asmaul Husna sebagai wirid adalah firman Allah SWT di surat Al-`Araf ayat 180,” Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya manti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Salah satu wirid yang diamalkan oleh kaum muslimin yang bersumber dari Al-Qur`an dan juga Al-Hadits adalah wirid Al-Asmaul Husna. Di antara landasan untuk menjadikan Al-Asmaul Husna sebagai wirid adalah firman Allah SWT di surat Al-`Araf ayat 180,” Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya manti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Juga firman-Nya di surat Al-Israa ayat 110, “Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Dalam kitab Shahih Bukhari terdapat hadits dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT mempunyai 99 nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal seluruhnya) masuklah ia kedalam surga.”
Salah seorang ulama Betawi yang memahami Al-Asmaul Husna dengan sangat baik adalah KH. Abdurrahim Radjiun, putra dari Mu`allim Radjiun Pekojan. Pemahamannya ini dia tuliskan dalam sebuah risalah yang berjudul Analisis Kritis 99 Nama Allah (Kajian Sofiologis Al-Asma Al-Husna). Beberapa pemahamannya yang sangat berguna bagi yang mewiridkan AL-Asmaul Husna coba saya paparkan di artikel yang terbatas ini, yaitu: Pertama, Al Asmaul Husna adalah 99 nama Indah Allah SWT. Nama-nama ini tidak tersusun dalam satu ayat atau bahkan satu surat al Quran, namun terdapat pada ayat dan surat tertentu secara terpisah; bahkan juga terdapat di dalam Al-Hadits.
Kedua, di dalam Al-Quran, Al-Asmaul Husna itu umumnya terdapat pada akhir ayat, kecuali Arrahman. Sehingga dapat dipahami bahwa pada masing-masing Ism (nama) tersebut memiliki latar belakang maupun latar depan pesan Qurani yang berbeda. Sebagai contoh Ism pertama dalam Al-Asmaul Husna : Arrahman. Nama Allah, ini menjadi pembuka ayat pada surat dengan nama yang sama. Tidak ada ayat sebelumnya yang mengantar kita pada pengertian yang melatar belakangi ism dimaksud, sehingga kita tidak punya pilihan kecuali mengamati pengertian Ism tersebut hanya dengan menelusuri latar depan dari Arrahman. Sedangkan Arrahim, salah satu di antaranya, terdapat misalnya pada Qolbul Quran – jantung hati al Quran, yaitu surat Yaasin ayat 58 yang ism tersebut terdapat pada akhir ayat. Dengan demikian, untuk memahami pengertian lafaz dimaksud, tentu perlu memahami latar belakang surat yang mengiringinya.
Ketiga, dari kedua contoh Nama Allah di atas, terkadang kita berkesimpulan sederhana : bila kita baca nama tersebut dalam jumlah tertentu, pastilah kita akan beroleh apa yang diinginkan, karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika kita berkesimpulan seperti itu, mari simak sabda Rasulullah SAW,” Sayangilah mereka yang ada di bumi (sekitar kalian), maka kalian akan disayang oleh Yang di langit “ Hadits ini dapat kita pahami bahwa untuk disayangi oleh Yang di langit, kita harus mulai dengan menyayangi yang ada di bumi atau di lingkungan hidup kita. Atau, jangan pernah berharap untuk disayangi oleh Yang di langit, sejauh kita tidak pandai untuk menyayangi yang ada di sekitar kita. Kita harus akui bahwa sikapan kita dalam berinteraksi dengan siapapun, termasuk terhadap Allah swt, tidak luput dari prinsip : take and give, ambil dan kasih. Kenapa paradigma itu tidak berani kita belokkan menjadi give and take, kasih dan dikasih. Atau bahkan kita bangun metamorfosis yang lebih hebat lagi, menjadi : give and given, memberi dan diberi. Kenapa kita harus merasa begitu lunglai dan impotensial, bahwa kita hanya bisa memberi kalau sudah mengambil ? Tidakkah kita berani untuk memberi baru kemudian menerima ? Bukankah cara berpikir demikian lebih bersifat investatif, dengan peluang meraih keberuntungan jangka panjang ? Atau kenapa kita tidak berani mengambil keputusan untuk selalu memberi karena kita selalu diberi ; selalu mengasihi karena kita selalu dikasihi ?Tragedi ini ternyata tidak hanya terjadi pada hubungan horizontal, sesama makhluk, tapi juga dalam hubungan vertikal antara makhluk dengan Alkhaliq. Bahwa kita menyimpan kecenderungan untuk beribadah kepada Allah, sejauh kita temukan sisi peluang keberuntungan – material minded. Pada akhirnya, dari 99 Asma, hanya beberapa saja yang menjadi bacaan favorit ummat, seperti : Arrazzaq, Alghani, Almughni Assalam, Alaziz, Alqawi, Allathif, Almuizzu, Almalik, Zuljalali wal Ikram dsb., karena Nama-nama itu memiliki arti yang berkaitan dengan rejeki, kekayaan, keselamatan, kemuliaan atau memuliakan, kekuatan, kerajaan, yang perkasa dan mulia. Dan adakah yang suka untuk mendawam Almuzillu, Alhasib, Almuhshi, Albathin, Al’afuw, Asshabur ? Sejujurnya, bahwa kita sungguh-sungguh enggan mendawam atau mewirid nama-nama tersebut, hanya karena menyimpan pengertian : menghinakan, menghitung, mencatat, tersembunyi, memaafkan dan penyabar.
Keempat, keengganan kita menyapa Allah SWT dengan nama-nama itu, jelas, karena kita khawatir menjadi seperti nama itu sendiri. Kita takut terhina, takut dihisab, takut tenggelam dan tidak dikenal siapapun, takut menjadi pemaaf atau penyabar. Subhanallah, bukankah itu juga Nama dan sekaligus Sifat Allah yang Maha Mulia ? Kesimpulannya sangat sederhana : kita lebih ingin dibesarkan daripada dikecilkan, kita lebih siap untuk dimuliakan daripada dihinakan, kita sangat berani untuk menjadi orang kaya daripada menjadi penyabar dengan hidup seadanya, kita teramat ingin untuk menjadi pemimpin daripada menjadi orang saleh yang taat dan setia kepada pimpinan. Ternyata kita sangat berani untuk memenuhi isi kepala dengan tumpukan obsesi naif, meski harus menempuh risiko berseberangan dengan kehendak Allah SWT. Diabadikan dalam Alquran, ayat yang melukiskan sebagian manusia yang beribadat kepada Allah SWT hanya pada garis tepinya saja.“ (Q.S. Al-Hajj [22]: 11). Dan sebagian manusia ada yang beribadat kepada Allah di tepi saja.” Sungguh, sepatutnya kita malu kepada Allah, sebab Dia telah bongkar muatan hati kita yang tidak jujur dalam beribadat kepadaNya. Yaitu, kalau dalam beribadat ada sisi yang menguntungkan, maka kuatlah benang merah itu ke langit. Namun apabila didera ujian dari Allah, maka kita segera berpaling dari-Nya. Dia, Allah, pastikan bahwa manusia yang beribadat kepada Allah dengan cara demikian, telah merugi dunia-akhirat. Dan bukankah seperti demikian juga kita memperlakukan Alasma Alhusna, bahwa ada Asma yang disukai dan ‘tidak disukai’ hanya dengan pertimbangan untung-rugi dalam menyapa Allah ?
Akhirulkalam, di dalam Al-Qur`an, banyak terdapat bacaan untuk diwiridkan. Namun, tentu niatlah yang menjadi persoalan, apakah wirid yang kita bacakan seperti yang Allah SWT kehendaki atau sekedar untuk memuaskan hawa nafsu? Maka, bagi Anda yang ingin memahami lebih dalam tentang wirid dan kemukjizatan Al-Qur`an dalam mengatasi kemelut kekinian, ikutlah Seminar Mutiara-Mutiara Al-Qur`an dalam Kemelut Kekinian dengan pembicara KH. Saifuddin Amsir, Dr. KH. Ahsin Muhammad Saqo dan Dr.KH.Mukhlis M. Hanafi, MA pada hari Selasa, 31 Januari 2012 di Aula Serba Guna JIC dari jam 13.00 s/d 17.00 WIB, peserta diharapkan sudah tiba di tempat acara pada jam 12.00 WIB. Bagi mereka yang berminat untuk mengikuti seminar ini dapat mendaftarkan diri ke JIC melalui telepon (021) 4413069 via Lala atau Lia atau di 081314165949, peserta tidak dipungut biaya. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC