Keterangan gambar : Dua orang dari kelompok pemberontak sedang berbincang dengan sebuah keluarga yang terjebak di lokasi pertempuran di pinggiran Kota Aleppo, Suriah, 5 Januari 2013. Mereka menunggu kabar ayahnya yang tak kunjung kembali. SUMBER GAMBAR,MAURICO MORALES/AFP
‘Saya insaf, setelah tahu perangai pendukung ISIS tak sesuai ucapannya’
JAKARTA, JIC,— (Wildan bin Fauzi Bahriza, ikut bertempur bersama ISIS di Suriah, menyadari kesalahannya dan kini mengampanyekan perdamaian)
Wildan Fauzi Bahriza masih berusia 22 tahun ketika bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah pada Juni 2013 lalu.
Dia merupakan salah-satu generasi pertama dari Indonesia yang berangkat ‘berjihad’ ke negara itu.
“[Di usia muda] Semua orang pasti pernah merasakan bagaimana mengutamakan adrenalin daripada berpikir jernih,” katanya kepada BBC News Indonesia, pertengahan April lalu. Kami menemuinya di pondokannya di pinggiran Kota Malang.

SUMBER GAMBAR,DOKUMEN WILDAN BAHRIZA
Hal itu dia utarakan ketika saya bertanya apakah saat itu dia tidak menyadari kompleksitas di balik perang saudara di Suriah.
“Semangat itu meluap-luap, apapun akan aku lakukan untuk mencapai target itu,” tambah sarjana strata satu bidang informatika di sebuah perguruan tinggi swasta di Malang, Jatim ini.
Pria kelahiran Pasuruan, 17 Juni 1991 ini nekad berangkat ke Suriah setelah bertemu anggota ISIS asal Pasuruan dan tinggal di Malang, Abu Jandal.
Sepekan kemudian dia berangkat ke negara yang saat itu dilanda perang saudara. “Sesederhana itu malah.”
Selain dorongan adrenalin, anak kelima dari enam bersaudara asal kota kecil Bangil, Jatim, ini mengaku semenjak kecil gampang tersentuh ketika bersentuhan dengan isu kemanusiaan.

SUMBER GAMBAR,DOKUMEN WILDAN
Dalam situasi seperti itu, Wildan mendapat informasi — yang sangat mungkin tidak utuh alias sepihak — seputar konflik Ambon, perang Afghanistan, Irak, hingga Suriah.
Dan mirip yang dialami eks napi teroris lainnya, yaitu Abu Farros, Wildan mengaku ‘terpanggil’ untuk berangkat ke Suriah atas nama persaudaraan sesama muslim.
“Rentetan peristiwa itu yang membuat aku ingin membantu mereka [di Suriah], setidaknya aku ingin berguna,” katanya.
Dari mana Anda mengetahui kondisi di Suriah, saat itu? Tanya saya. Wildan tidak memungkiri dia mendapatkannya dari media sosial.
“Aku melihat video-video anak-anak kecil yang kehilangan orang tuanya.”

SUMBER GAMBAR,DOKUMEN WILDAN BAHRIZA
Setelah tiba di Suriah pada September 2013, Wildan dan sekitar sembilan orang WNI — di antaranya Abu Jandal, yang merekrutnya — dikirim ke kamp militer, dua pekan kemudian. Mereka dipersenjatai.
“Dan kami ditaruh di front-front pertempuran,” akunya. Jadi Anda ikut bertempur? Tanya saya. “Iya.”
Ketika itu Wildan mengaku nyaris dimasukkan dalam rombongan ‘bom syahid’ alias bom bunuh diri. Dia mengaku sudah dikarantina, namun akhirnya batal.
Belakangan dia mengaku dipindahkan ke rumah sakit untuk menjadi petugas evakuasi. “Ini sesuai keinginanku [menjadi petugas medis],” akunya.
Selama bertugas di rumah sakit, Wildan mengaku menyaksikan anak-anak dan warga sipil yang menjadi korban kekejaman perang saudara.

SUMBER GAMBAR,BBC NEWS INDONESIA
“Sampai sekarang, saya kesulitan tidur, saya selalu terbayang-bayang apa yang saya saksikan,” Wildan menerawang, lalu menarik napas panjang. Matanya terlihat basah.
Dihadapkan situasi yang tidak terbayangkan itu, pada awal 2014, Wildan memutuskan kembali ke Indonesia dengan sikap ekstrim yang belum sepenuhnya berubah.
Dua tahun kemudian dia ditangkap Tim Densus 88, setelah sempat menikahi perempuan asal Indramayu, Jawa Barat, setahun sebelumnya.
Dia divonis bersalah karena terlibat organisasi teroris ISIS dan dihukum lima tahun penjara.
Di dalam penjara, Wildan semula menolak melakukan ikrar kesetiaan pada NKRI, karena dia mengaku “diancam keselamatannya oleh beberapa napi teroris ISIS”.
Namun dia kemudian mengalami titik balik — melakukan ikrar setia kepada NKRI dan mengikuti program deradikalisasi — setelah mengetahui para pengancamnya itu disebutnya “akhlak dan sikapnya bertentangan jauh dengan apa yang diucapkannya.”
Akhirnya dia mendapatkan remisi dan hukumannya diubah menjadi tiga tahun sembilan bulan. Dia dibebaskan pada 2 Oktober 2019.
Dalam wawancara, Wildan menyebut peran orang tuanya yang “sangat luar biasa” saat dirinya berada di titik nol dalam kehidupannya — mendekam di balik terali besi.

SUMBER GAMBAR,PABLO TOSCO/AFP
“Tunjukkan dengan akhlak (berbuat baik), jangan balas dengan keburukan,” Wildan mengutip ulang nasihat orang tuanya. Perkataan ini pula menguatkan dirinya untuk berubah.
Ketika diberi kesempatan untuk membagikan pengalamannya keluar dari jeratan gerakan ekstrim di berbagai acara diskusi, Wildan selalu menyisipkan pentingnya memelihara kedekatan dengan orang tua.
Hal penting lainnya yang sering dia utarakan adalah menyadari pentingnya perdamaian. “Jadi selagi diberi nikmat perdamaian, kenapa kita harus berperang.”
Wildan juga mengoreksi konsep ‘jihad’ yang dulu disebutnya identik dengan perang. Dia memahami jihad itu “banyak pintunya”, di antaranya membantu fakir miskin dan anak-anak yatim yang terlantar.

SUMBER GAMBAR,BBC NEWS INDONESIA
“Apalagi di negara kita banyak fakir miskin,” ungkapnya. Kini Wildan aktif membantu memasarkan produk makanan sebuah yayasan yatim piatu di Malang.
Kritikan juga dia sampaikan kepada aliran-aliran di dalam kelompok Islam tertentu yang disebutnya “terlalu ekstrim”. “Misalnya suka mengkafirkan sesama muslim. Saya pun dikafirkan juga.”
“Mungkin itu yang memicu radikalisme yang begitu kuat karena kesalahan pemikiran seperti itu,” kata Wildan. “Padahal Islam itu agama yang rahmat, dan tidak ada yang mengekstrimkan seperti itu.”
Dia berharap nantinya dapat memiliki yayasan sendiri untuk membantu para yatim piatu yang terlantar.
“Karena semakin banyak berinteraksi dengan anak-anak itu membuat saya semakin merasa tenang,” ujarnya.
Saat ini Wildan memulai menekuni aktivitas baru sebagai fotografer dan videografer di Kantor Dinas Koperasi dan Perdagangan Kota Malang.
“Yang lalu biarlah berlalu, case closed, aku sekarang membangun kehidupan yang baru.”
Sumber : bbcindonesia.com