JIC,– Pertarungan wacana dan ejekan akibat sikap ‘Islamobia’ berlangsung hingga kini. Ada isu atau wacana soal pemerasan Pancasila, usaha penghilangan jejak sejara Piagam Jakarta, penghilangan frase iman dan takwa dalam aturan pendidikan, hingga yang terakhir olok-olok mengenai kaitan pakaian mini dan Islami dengan munculnya perkosaan. Bahkan, terkesan kasus dugaan perundungan siswi sebuah sekolah keagamaan ini ‘digoreng’ sebagai olok-olok baru. Nuansanya persis dengan lelucon yang dilakukan senator Partai Republik, Lauren Boebert, kepada perempuan anggota DPR Â AS dari Partai Demokrat: Ilham Omar.
Atas situasi ini banyak orang yang merasa khawatir. Mereka jelas tak ingin Indonesia mengalami peristiwa pahit Yugoslavia yang terkenal dengan sebutan ‘Balkanisasi’. Salah satu tokoh yang sejak lama mengkhawatirkan ini adalah mantan aktivis mahasiswa UI yang semat dituduh penggerak peristiwa Malari pada 1974: dr Hariman Siregar. Dalam berbagai diskusi santai menjelang tengah malam, dia berungkali memperingatkan kenyataan itu.
”Saya tak mengerti mengapa banyak orang pintar di negeri ini tetap diam saja melihat itu semua. Saya bingung sekaligus aneh. Prihatin. Pemilu malah membuat pembelahan kian akut,” katanya sembari mengelus dada.
Sadar itu semua, maka marilah mulai hari ini menghapus kecenderungan Islamofobia atau menganggap Islam sebagai musuh. Dan juga sebaliknya, mengagap kaum nasional sebagai seteru yang harus dihilangkan keberadaannya. Jadi, tak usahlah perbedaan itu diterus-teruskan. Sikap antipati kepada Islam yang muncul sejak zaman kolonial Belanda melalui Snuck Hurgronye: bahwa Islam sebagai laku ibadah diperbolehkan dan malah harus didukung, Islam sebagai gerakan politik harus diberantas sampai tuntas.
Harapannya, tak usah lagi memutus mata  rantai Islam dengan kepentingan politik kekuasaan layaknya apa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, terutama setelah era usai perang Jawa pada 1830. Mulai saat itu semua yang berbau Islam atau santri di keraton secara bertahap tapi pasti harus disingkirkan.
Ingat, umat Islam melalui tokohnya M Natsir dari partai Masyumi itulah yang membentuk negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI). Atas manuver dan kesabaran diplomasi ‘Mosi Integralnya’ kala itu Nastir berhasil menyakinkan para Sultan dari berbagai wilayah di Indonesia ‘menyerahkan’ wilayahnya untuk bergabung dan membentuk negara seperti sekarang ini.
Di sini harus diketahui bahwa tanpa kelapangan hati para pemimpin Islam, yakni para Sultan, negara indah dan seluas ini wilayahnya tak akan seperti sekarang. Tak hanya ikhlas menyerahkan wilayahnya kepada NKRI, para Sultan ini banyak menyumbangkan dana operasioanal negara dengan jumlah yang sangat besar.
Maka, mudah-mudahan apa yang terjadi di DPR AS akan menular ke sini. Marilah kita belajar pada AS yang dahulu begitu menggebu-gebu ‘membesarkan api Islamobia’ dengan menghelanya ke berbagai negara yang sebagian besar berpenduduk Muslim. AS kemudian terbukti gagal menaklukan Irak. Uniknya setelah Sadam Husein dihukum mati, kekuasaan dia malah jatuh ke tangan penguasa baru yang bisa disebut sebagai tangan musuh ‘setan besarnya’, yakni Iran. Hal yang sama juga terjadi di Libya, Suriah, Afganistan, lainnya dan negara timur tengah yang terkena igauan isu ‘Arab Spring’. Di negara itu, setelah Arab Spring reda pengaruh AS bukannya membesar, malah kemudian mengecil. Negara-negara itu pun bukannya semakin makmur, malah kian acak-adut.
Untuk Indonesia perubahan sikap AS itu sebenarnya sudah terindikasi lama. Kala pergantian Presiden Donald Trup ke Joe Biden, tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan, menlu AS datang ke Jakarta. Uniknya selama di Jakarta, Menlu AS ini malah menyempatkan diri mendatangi kalangan Nahdliyin, yakni Ansor. Di forum itu entah karena sebab apa dia berpidato menyinggung peran NU dimasa krusial ‘hidup-mati’ sekitar peristiwa tagedi tahun 1965.
Semua itu jelas dapat menjadi bahan pelajaran, khusnya bagi kaum Muslim Indonesia. Di depan kita kini ada suasana baru. Tinggal kita semua bisa tidak memanfaatkannya. Bisakah lupakan ‘phobia’ peninggalan Snuck Hurgronje itu?
Sumber : Republika.co.id