JIC,– Untuk studi kasus; memilah mana yang mejadi bagian mazhab dan mana yang bukan, Imam Qarafi mencontohkan sebuah pendapat Imam Malik yang menyebutkan bahwa akad jual beli dan sewa atas tanah di negeri Mesir adalah tidak sah karena menurut beliau negeri Mesir ditaklukkan dengan perang atau ‘anwah.
Dalam pernyataan itu, muqaddimah kubra (premis mayor) adalah hukum akad jual beli dan sewa atas tanah dari sebuah negeri yang ditaklukkan dengan perang, tidak sah. Ini adalah hukum syar’iyyah-furû’iyyah-ijtihâdiyyah yang menjadi hasil istinbath Imam Malik dari dalil-dali syariah.
Sementara muqaddimah shughra (premis minor) yaitu negeri Mesir ditaklukkan dengan perang sama sekali bukan hasil istinbath dari dalil-dalil syariah. Untuk itu tidak disebut mazhab. Pengetahuan itu adalah hasil tashawwur (pengamatan atas objek) berupa kesaksian (syahadah) atas peristiwa penaklukan negeri Mesir pada zaman Khalifah Umar bin Khattab.
Dan karena bersumber dari syahadah, tentu pernyataan tersebut harus melalui periwayatan sejarah karena Imam Malik tidak menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung.
Imam Qarafi menegaskan bahwa pernyataan ini bisa diuji kebenarannya dan dapat dikoreksi sesuai fakta-fakta sejarah yang lebih sahih. Dan yang shahih, negeri Mesir ditaklukkan secara shulh atau damai. Dan untuk mengikuti mazhab, maka hukum akad jual beli dan sewa atas tanah harus berubah yaitu dihukumi boleh.
Mengikuti pendekatan Imam Qarafi tersebut, kita bisa terapkan dalam mazhab Syafi’i misalnya dalam masalah hukum tanah liat negeri Armenia (al-thiin/al-shalshaal al-armani).
Imam Syafi’i berdasar informasi orang-orang yang ahli yang menyebut bahwa tanah liat ini bisa dijadikan obat, maka tanah liat ini bisa dijualbelikan dengan akad salaf (salam/pesan) dengan syarat dapat disebutkan karekternya yang spesifik dan berat timbangannya yang jelas (lihat Al-Umm, juz III, hal. 117).
Pernyataan Imam Syafi’i di atas harus dipilah. Pernyataan bahwa setiap makanan obat (karena suci, mengandung manfaat, dan dapat disifati) bisa dijualbelikan dengan akad salaf adalah muqaddimah kubra yang menjadi bagian mazhab karena hasil ijtihad dari sumber syariat.
Sementara pernyataan bahwa tanah liat Armenia termasuk makanan obat adalah muqaddimah shugra, bukan bagian mazhab karena merupakan hasil tashawwur (pengamatan atas objek) yang bersumber dari orang ahli.
Konsekuensinya, jika tashawwur atas objek berubah atau berbeda, maka kesimpulan hukum atas objek harus barubah. Misalnya, informasi orang ahli tersebut terbukti keliru, atau terbantah dengan penelitian yang lebih akurat, atau terjadi perubahan fakta artinya sekarang tanah liat Armenia tidak lagi menjadi obat, maka–sekali lagi–kesimpulan hukum harus berubah.
Perubahan ini bukan karena perubahan hukum mazhab (yaitu dalam muqaddimah kubra). Hukum mazhab tetap dan tidak berubah. Yang berubah adalah natijah (kesimpulan) karena adanya perubahan tashawur atas tanah liat Armenia (yaitu dalam muqaddimah shughra).
Perbedaan atau perubahan hukum dalam dua contoh di atas, termasuk perbedaan hukum yang disebabkan perbedaan tashawwur, sebagaimana telah disinggung dalam artikel sebelumnya “Sebab Perbedaan Fatwa Terjadi Meski dalam Satu Mazhab.”
Dalam artikel tersebut, dicontohkan perbedaan tahsawwur terjadi antara pengikut mazhab Syafi’i dalam penghitungan jarak antara Pelabuhan Jeddah dan Makkah. Sementara dalam contoh dua contoh di atas, terjadi koreksi tashawwur atas tashawwur yang pernah dilakukan imam mazhab. Wallahu a’lam. Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Te ngah, Mu
Sumber : nu.or.id