FOKLOR LISAN DAN HIKAYAT DI BETAWI

0
330

Indonesia memang dikenal dengan negeri kaya akan cerita prosa rakyat baik berupa mitos, legenda, dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, dan Roro Jonggrang dari Jawa Tengah.

Cerita prosa rakyat merupakan bagian dari foklor lisan. Sedangkakan foklor, memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut, yaitu: Pertama, penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya;

Indonesia memang dikenal dengan negeri kaya akan cerita prosa rakyat baik berupa mitos, legenda, dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, dan Roro Jonggrang dari Jawa Tengah.

Cerita prosa rakyat merupakan bagian dari foklor lisan. Sedangkakan foklor, memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut, yaitu: Pertama, penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya; kedua, bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar; ketiga, berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan; keempat, bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya; kelima, biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya,”Menurut sahibul hikayat.”; keenam, mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam; ketujuh, bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan; kedelapan, menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu; dan kesembilan, pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan cerminan emosi manusia yang jujur.

Maka, dari ciri-ciri utama foklor diatas, cerita Bang Maman dari Kali Pasir yang diributkan akhir-akhir ini tidak bisa disalahkan. Ia merupakan foklor lisan yang telah ada di tengah-tengah masyarakat Betawi, yang tidak diketahui siapa pengarangnya dan bersifat lugu atau polos sehingga kelihatannya kasar karena merupakan cerminan emosi manusia yang jujur serta berkembang dalam versi yang berbeda-beda karena penyebarannya secara lisan sehingga mudah mengalami perubahan. Seperti penuturan budayawan dan pakar sahibul hikayat Betawi, Yahya Andi Saputra bahwa cerita Bang Maman dari Kali Pasir memang berbeda versinya dari versi yang ia ketahui.

Lalu apa yang salah dari cerita Bang Maman dari Kali Pasir? Untuk jawaban dari pertanyaan ini ada dua, yaitu: Pertama, untuk ceritanya tidak bisa disalahkan, yang salah adalah memasukkan foklor lisan tersebut kedalam buku pendidikan, dalam hal ini Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta untuk kasus buku latihan soal terbatas yang menjadi bacaan wajib anak SD Angkasa IX Halim Perdanakusuma. Kasus Bang Maman dari Kali Pasir tentu menjadi pelajaran berharga bagi pihak-pihak yang terkait agar lebih berhati-hati dan selektif dalam memasukkan foklor lisan kedalam buku pendidikan dan melibatkan lembaga yang memang memiliki tanggung jawab dan tugas melestarikan dan mengembangkan foklor Betawi, yaitu Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Selama ini, dalam menyusun buku Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta, LKB kurang dilibatkan padahal yang dimaksud dengan lingkungan budaya Jakarta adalah Betawi itu sendiri dan LKB lah yang seharusnya dijadikan mitra untuk diminta memilah dan memilih foklor lisan yang layak untuk dimasukkan kedalam buku pendidikan.

Sedangkan untuk jawaban kedua, berbentuk dua pertanyaan yang menjadi bahan renungan bagi pihak-pihak terkait dan kita semua, yaitu apakah harus foklor lisan yang menjadi bahan bacaan untuk pendidikan lingkungan budaya Jakarta? Bukankah ada cerita-cerita tertulis yang ada di masyarakat Betawi yang layak dijadikan bahan bacaan untuk anak sekolah, memiliki kearifan lokal dan nilai- nilai moral yang tinggi, seperti karya penyalin dari Betawi, Muhammad Bakir bin Sofyan Usman Fudoli dari Pecenongan, Langgar Tinggi, diantaranya, yaitu Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak?

Maka seharusnya hikayat-hikayat tersebutlah yang dimasukkan kedalam buku pendidikan, apalagi menurut Mu’jizah, Sri Sayekti, dan Zainal Hakim yang meneliti ketiga hikayat tersebut, selain Hikayat Sultan Taburat II, di dalam Hikayat Nakhoda Asyik ada hal yang menarik dari struktur ceritanya, yaitu nama tokoh yang dimunculkan sudah menggambarkan karekter sang tokoh, begitu juga dengan latarnya. Nama-nama tempat yang digunakan sudah menggambarkan suasana tempat. Gaya penyampaiannya sangat humoris dan menggunakan bahasa Betawi sebagai sarana. Sumber lain mengatakan bahwa selain itu, hikayat ini menyimpan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, seperti kebiasaan nenek moyang bangsa Indonesia yang suka melaut dan juga mengandung mengandung nilai-nilai amanat yang terpuji seperti rajin menuntut ilmu, berani mengelilingi dunia untuk berbisnis, sikap tolong menolong dalam kehidupan, dan lain-lain. Sedangkan di dalam Hikayat Merpati Emas dan Merpati Perak ajaran moral yang muncul adalah kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi penderitaan akan membuahkan kebahagiaan. Hal yang penting dalam hikayat tersebut adalah pelukisan tokoh yang hidup di istana antah berantah (hikayat klasik) dalam bahasa yang ditrunjukan kepada pembaca, yang seolah-olah sudah akrab dikenal pengarang yang rata-rata dari lingkungan bawah. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fourteen − 8 =