Di Betawi, orang yang berstatus atau bergelar haji, dari dulu sampai sekarang, begitu dihormati. Dan orang-orang yang bergelar haji ini menjadi bagian dari elit Betawi. Orang-orang ini keahliannya bukan di bidang agama karena itu mereka tidak bisa disebut ulama atau ustadz. Namun ironinya, seperti judul laporan Koran Republika (Rabu, 17/04/2013) halaman 12 yang berjudul Sinetron ’Pak Haji’ Menuai Protes, memang kita perlu menyayangkan adanya beberapa sinetron yang setingnya menggunakan budaya dan dialek Betawi tetapi malah mengangkat kisah haji Betawi berperilaku buruk, bahkan ada pula yang terang-terangan memberikan judul Haji Medit. Haji Betawi kok medit? Ini jelas penghinaan bagi masyarakat Betawi
Menurut Ridwan Saidi, ada hirarki status di dalam tubuh ulama Betawi yang disebabkan oleh fungsi dan peran pengajaran mereka di tengah-tengah masyarakat. Status tertinggi dalam hirarki keulamaan di Betawi adalah Guru, yang dalam istilah Islam disetarakan dengan Syaikhul Masyaikh. Guru merupakan tempat bertanya, tempat umat mengembalikan segala persoalan. Guru mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa agama. Biasanya juga mempunyai spesialisasi dalam bidang keilmuan. Misalnya Guru Manshur Jembatan Lima yang merupakan pakar di bidang ilmu falak.
Status di bawah Guru adalah Mu`allim. Mu`allim mempunyai otoritas untuk mengajar kitab-kitab di berbagai disiplin ilmu ke-Islaman, tetapi belum otoritatif untuk mengeluarkan fatwa. Dalam beberapa kasus, ada mu`allim yang sebenarnya berstatus sebagai guru. Misalnya saja, Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami. Beliau bahkan digelari `allamah oleh murid-murid dan masyarakat Betawi yang mengenalnya. Begitu pula dengan KH. Saifuddin Amsir yang digelari mu`allim, padahal oleh sebagain murid-muridnya dipangil dengan panggilan buya dan juga syaikh yang setara dengan guru. Hal ini dikarenkan keduanya merupakan ulama Betawi yang fatwa-fatwanya diakui oleh masyarakat Betawi dan di luar Betawi.
Sedangkan status di bawah Mu`allim atau yang paling bawah adalah Ustadz. Ustadz memberikan pelajaran agama kepada pemula untuk tingkat dasar dan lanjutan. Ustadz memberikan pelajaran baca Al-Qur`an, bahasa Arab, tarikh, rukun-rukunan (rukun Islam dan rukun Iman.
Namun, di luar status-status tersebut, ada satu status keagamaan yang juga memiliki posisi terhormat di masyarakat Betawi, yaitu haji. Di Betawi, orang yang berstatus atau bergelar haji, dari dulu sampai sekarang, begitu dihormati. Dan orang-orang yang bergelar haji ini menjadi bagian dari elit Betawi. Orang-orang ini keahliannya bukan di bidang agama karena itu mereka tidak bisa disebut ulama atau ustadz. Profesi mereka adalah pengusaha, pedagang, petani, pemilik kebun, pemilik empang, pemilk kontrakan, orang kantoran, jagoan dan lainnya. Walau demikian, keislaman mereka bukan sekedar di KTP karena mereka umumnya terlihat relijius, rajin shalat ke masjid dan musola, bahkan rajin mengikuti ceramah, pengajian bahkan halaqah-halaqah dan mampu membaca kitab kuning dan menjadi murid setia guru, muallim dan ustadz. Mereka juga dikenal dermawan, sering mengadakan santunan dan bagi-bagi berkat karena gemar mengadakan syukuran, maulidan dan tahlilan. Juga sebagian mereka menjadi sponsor tetap acara-acara yang digelar oleh ulama dan ustadz yang menjadi guru mereka. Ada satu contoh kedermawanan para haji Betawi ini sampai sekarang masih dapat dirasakan masyarakat urban di Jakarta, yaitu para haji Betawi yang memiliki kontrakan rumah. Siapapun yang pernah atau sedang mengontrak rumah seorang haji Betawi umumnya merasakan hal itu. Sifat tidak tegaan, mau mengerti dan memaklumi kondisi si pengontrak, sangat membantu para pengontrak yang sering nunggak uang kontrakan.
Namun, ada satu lagi sifat haji Betawi yang menjadi suri tauladan bagi siapapun, yaitu siap mengorbankan dirinya untuk kepentingan publik. Contohnya bukan sekedar tentang tanah dan rumah yang digusur untuk pembangunan stadion, jalan dan lainnya. Tapi, simaklah kisah singkat salah seorang haji Betawi berikut ini yang begitu heroik yang namanya menjadi legenda dan perbincangan siapapun yang mengulas sejarah Jakarta, yaitu H. Entong Gedut.
H. Entong Gendut adalah seorang jagoan yang peduli dengan kondisi masyarakatnya di daerah Condet yang tertindas oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Jika ia egois dan hanya mementingkan kepentingan diri dan keluarganya sendiri, dengan keahlian dan pengaruhnya, ia bisa saja menjadi antek-antek Belanda. Tapi, ia memilih berpihak kepada masyarakatnya dan mengorbankan dirinya dengan melakukan perlawanan fisik sampai ia mati syahid. Aksi perlawanan yang dilakukan H, Entong Gendut dan masyarakat yang dipimpinnya pertama kali ditunjukkan ketika terjadi sebuah kasus pengadilan kolonial (landraad) yang merugikan pribumi. Itu terjadi ketika landraad mengeksekusi putusannya yang menuntut seorang petani bernama Taba untuk membayar uang kepada tuan tanah sebesar 7.20 gulden pada bulan Februari 1916. Aparatur hukum kolonial memberikan peringatan pada Taba, agar patuh pada putusan tersebut jika tidak ingin harta benda miliknya disita pengadilan. Pada moment inilah kelompok Entong dan kelompoknya baru terjadi pada 15 April 1916 di depan Villa Nova, milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady Rollinson adalah seorang Eropa yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah Cililitan. Pada saat itu, kelompok H. Entong Gendut melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung Oost bernama Ament yang sedang berkunjung ke rumah Lady Rollinson sebagai tamu undangan dalam pesta yang diselenggarakan sang Lady. Tak hanya sampai disitu, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai puncaknya, kelompok H. Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan pesta tersebut berhenti. Peristiwa ini membuat nama H. Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat keamanan Belanda di Batavia. Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap H. Entong Gendut pun dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda berhasil mengepung rumah H. Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April 1916 dan terjadilah perlawanan yang akhirnya menewaskan H. Entong Gedut. Apa hanya H. Entong Gedut saja model haji seperti ini di Betawi? Ternyata tidak, banyak haji-haji seperti ini, seperti H. Darip dari Klender yang kisah heroiknya jika ditulis di sini kolomnya tidak akan cukup.
Walhasil, seperti judul laporan Koran Republika (Rabu, 17/04/2013) halaman 12 yang berjudul Sinetron ’Pak Haji’ Menuai Protes, memang kita perlu menyayangkan adanya beberapa sinetron yang setingnya menggunakan budaya dan dialek Betawi tetapi malah mengangkat kisah haji Betawi berperilaku buruk, bahkan ada pula yang terang-terangan memberikan judul Haji Medit. Haji Betawi kok medit? Ini jelas penghinaan bagi masyarakat Betawi.***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Seksi Pengkajian JIC
Â












