HAJI ITU SEKALI SAJA

0
169

Khatib pada Idul Adha 1433H di Jakarta Islamic Centre (JIC) adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub. Pada khutbah tersebut, ia akan menyampaikan tema Kurban, Haji dan Ibadah Sosial. Pesan utama dari tema khutbahnya tersebut adalah ibadah sosial itu lebih utama daripada ibadah individual sehingga seseorang itu jika melaksanakan ibadah haji seharusnya hanya sekali saja seumur hidupnya.

Khatib pada Idul Adha 1433H di Jakarta Islamic Centre (JIC) adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub. Pada khutbah tersebut, ia akan menyampaikan tema Kurban, Haji dan Ibadah Sosial. Pesan utama dari tema khutbahnya tersebut adalah ibadah sosial itu lebih utama daripada ibadah individual sehingga seseorang itu jika melaksanakan ibadah haji seharusnya hanya sekali saja seumur hidupnya.

Tentu pesan utama tersebut bersandarkan pada dalil yang kuat. Menurut pengarang buku Haji Pengabdi Setan ini, Sebagai Umat Islam, tidak ada cara lain dalam beribadah kecuali mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW.Dalam catatan sejarah, meskipun Rasulullah SAW berkesempatan untuk beribadah haji sampai tiga kali, beliau hanya beribadah haji satu kali saja. Sementara kita, umat Islam Indonesia, khususnya yang mampu, ingin beribadah haji setiap tahun. Rasulullah SAW juga punya kesempatan untuk beribadah umrah sunnah ratusan bahkan mungkin ribuan kali, namun beliau beribadah umrah sunnah hanya dua kali. Sementara kita, umat Islam Indonesia ingin beribadah umrah setiap bulan.

Rasulullah SAW beribadah haji hanya satu kali dan beribadah umrah sunnah hanya dua kali bukan karena beliau tidak punya uang, melainkan uang beliau diinfakkan untuk ibadah sosial. Setelah Rasulullah SAW menetap di Madinah, banyak terjadi peperangan (jihad fi sabilillah). Perang memerlukan dana, maka uang Rasulullah SAW di infaqkan untuk mendanai jihad fi sabilillah. Akibat perang, gugur para Syuhada, maka timbulah janda-janda dan anak-anak yatim. Oleh karena itu, Rasulullah SAW menyantuni para janda dan anak-anak yatim. Dalam saat yang sama banyak Mahasiswa yang belajar kepada Rasulullah SAW, mereka tidak punya apa-apa kecuali badan mereka sendiri saja, mereka tinggal di ruangan yang disebut Shuffah karenanya mereka disebut ahli shuffah, makan mereka di ransum oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat.

Praktik ibadah haji dan umrah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tersebut dikarenakan dalam Islam ada dua macam ibadah, yaitu ibadah qashirah dan ibadah muta`addiyah. Ibadah qashirah adalah ibadah yang manfaatnya hanya akan kembali kepada pelakunya saja, seperti shalat, puasa, itikaf, haji, umrah dan sebagainya. Ibadah ini juga disebut ibadah individual. Sedangkan ibadah muta`addiyah adalah ibadah yang manfaatnya tidak hanya kembali kepada pelakunya, tetapi juga kepada orang lain, seperti infaq (zakat dan shadaqah), wakaf (shadaqah jariyah), menyan-tuni anak yatim dan orang-orang miskin, memberikan makanan kepada orang-orang yang lapar, mengobati orang sakit, memberikan bantuan kepada orang yang terkena bencana alam dan lain sebagainya. Ibadah ini juga disebut ibadah sosial.

Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan untuk beribadah qashirah (ibadah individual) kemudian diiringi perintah untuk beribadah muta’addiyah (ibadah sosial). Sebagai contoh, Allah SWT berfirman:Kerjakanlah Shalat dan Tunaikanlah Zakat”. (Al-Baqarah [2]: 43).

Bahkan orang-orang yang masuk neraka, nanti mereka akan ditanya oleh malaikat:

“Mengapa kamu masuk Neraka Saqar? Mereka menjawab : kami tidak menjalankan shalat dan tidak memberi makanan kepada orang miskin”. (Al-Muddatstsir [74]: 42-44).

Dalam ayat yang memerintahkan untuk berpuasa, kemudian juga diiringi perintah memberikan makanan kepada fakir miskin. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang berat (tidak mampu) menjalankan puasa, ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah yaitu memberi makanan kepada orang miskin”. (Al-Baqarah :184).

Begitu pula dalam hadis-hadis nabawi. banyak sekali hadis nabawi yang memerintahkan dan atau mencontohkan kepada kita untuk beribadah sosial. Ketika Rasulullah SAW ditanya:

“Perbuatan apakah yang paling baik dalam islam? Beliau menjawab : memberikan makanan.” (HR: Imam Al-Bukhari).

Ibadah qashirah (ibadah individual) tidak selamanya berdiri sendiri dan terpisah dari ibadah muta’adiyah (ibadah sosial). Adakalanya sebuah ibadah memiliki dimensi individual (al-bu’du al-fardy) dan sekaligus memiliki dimensi sosial (al-bu’du al-ijtima’i), seperti ibadah kurban.

Sedangkan posisi penting ibadah sosial dibandingkan dengan ibadah individual dapat kita pelajari ketika Rasulullah SAW apabila dihadapkan kepada dua pilihan, antara ibadah individual dan ibadah sosial- Apabila keduanya merupakan ibadah sunnah (tidak wajib)- Rasulullah SAW akan memilih ibadah sosial. Oleh karenanya para Ulama membuat sebuah kaidah hukum Islam, yaitu “Ibadah sosial lebih unggul daripada ibadah individual.”

Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub bahwa keunggulan ibadah sosial dapat dilihat dari faktor-faktor berikut, yaitu: Pertama, pahala dalam ibadah sosial jauh lebih tinggi nilainya dibanding ibadah individual. Sebagai contoh, menyantuni anak yatim pahalanya adalah mendapatkan surga satu kelas bersama Rasulullah SAW. Sementara beribadah haji apabila mabrur pahalanya hanya surga; kedua, Allah SWT menyatakan keberpihakan-Nya kepada kaum lemah, seperti orang sakit, orang kelaparan, orang yang kehausan, orang tidak punya busana dan lain sebagainya. Para kaum lemah ini adalah tempat-tempat untuk beribadah sosial; ketiga, ibadah sosial manfaatnya akan dirasakan oleh orang banyak. Karenanya pahalanya juga banyak. Sementara ibadah individual manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya saja, karenanya pahalanya juga sedikit; keempat, ibadah sosial pelakunya tetap akan mendapatkan keuntungan, kendati ketika beribadah dia tidak ikhlas, karena dia telah membuat sebab yang menguntungkan orang lain. Sehingga orang lain itu mendoakan kepada pelaku ibadah tersebut dan lain-lain; dan kelima, pahala Ibadah sosial secara umum akan berlanjut bagi pelakunya selama perbuatan yang dia lakukan itu tetap digunakan sepanjang masa. Orang yang membangun masjid, pesantren, rumah anak yatim, jembatan, menggali sumur dan sebagainya akan tetap mendapatkan kredit point selama hal itu masih dipakai. sementara ibadah individual akan berakhir dengan berakhirnya perbuatan ibadah itu sendiri.

Dari penjelasannya tersebut maka sudah sangat jelas, terang benderang, bahwa orang-orang yang pergi haji berkali-kali, kecuali pembimbing atau petugas haji, adalah orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri dan memperturutkan hawa nafsu dan itulah yang dikehendaki setan karena tidak ada satu ayat pun yang menyuruh kita untuk melaksanakan haji berkali-kali. Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat.

Jam terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr, minum minuman keras. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya.

Akhirul kalam, untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap dari Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub tantang hal ini Anda dapat mendownload makalahnya dari website JIC di alamat jic.jakarta.go.id

***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × four =