Jika RUU Jaminan Produk Halal diberlakukan maka produsen vaksin terbesar di Indonesia, PT Bio Farma (Persero) terancam menanggung kerugian cukup besar, yakni mencapai Rp1,5 triliun.
Pasalnya, sampai saat ini, hampir sebagian besar bahan baku Bio Farma didatangkan dari luar negeri alias impor.
“Hampir 95 persen bahan baku kami dari impor, Jika RUU itu disahkan, kami tidak bisa berbuat banyak. Kami tidak bisa menjamin bahan baku pembuat vaksin dari impor, sepenuhnya halal,” jelas Direktur Utama PT Bio Farma, Iskandar menjelang pertemuan ke-13 Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) di Kuta, Bali, Selasa (30/10/2012).
Islamedia – Jika RUU Jaminan Produk Halal diberlakukan maka produsen vaksin terbesar di Indonesia, PT Bio Farma (Persero) terancam menanggung kerugian cukup besar, yakni mencapai Rp1,5 triliun.
Pasalnya, sampai saat ini, hampir sebagian besar bahan baku Bio Farma didatangkan dari luar negeri alias impor.
“Hampir 95 persen bahan baku kami dari impor, Jika RUU itu disahkan, kami tidak bisa berbuat banyak. Kami tidak bisa menjamin bahan baku pembuat vaksin dari impor, sepenuhnya halal,” jelas Direktur Utama PT Bio Farma, Iskandar menjelang pertemuan ke-13 Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) di Kuta, Bali, Selasa (30/10/2012).
Karena itu, jika aturan tersebut diberlakukan sekarang, akan membuat perusahaan produsen vaksin ibaratnya mati kutu, sebab pihaknya tidak bisa menjamin kehalalan bahan baku impor. Untuk itu, pihaknya mengusulkan, dalam konteks obat-obatan, hendaknya vaksin jangan dimasukkan dalam kategori halal haram.
Lain lagi, jika industri dalam negeri sudah mampu menyediakan bahan baku sendiri, pihaknya setuju aturan tersebut diberlakukan. Iskandar mengusulkan, untuk labelisasi halal diperuntukkan dahulu untuk produk makanan.
“Kami mengapresiasi langkah pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat labelisasi halal melalui RUU Jaminan Produk Halal. Namun khusus untuk produksi vaksin harus didukung penyediaan bahan baku yang memadai,” imbuh Iskandar.
Diakuinya, pengawasan untuk produk makanan relatif bisa dilakukan dibanding obat-obatan yang cukup sulit melakukan kontrol. Meski belum melakukan kalkulasi resmi terhadap dampak jika aturan baru itu diberlaukan, namun pihaknya bakal kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp1,5 triliun.
“Bio Farma bisa kehilangan pendapatan sampai Rp1,5 triliun. Penghasilan kita setahun segitu. Kalau itu dikaitkan RUU Jaminan Produk Halal dan produk kita dinyatakan tidak halal, kita tidak bisa apa-apa,” tukasnya.
Labelisasi halal haram, baik oleh pemerintah maupun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada produk obat dan vaksin, dapat menghacurkan industri obat-obatan dalam negeri.
Mengacu definisi MUI, bahwa produk halal tidak berasal dari bahan baku yang kontak dengan enzim babi. Namun pihaknya tidak bisa menjamin itu, sebabnya bahan baku masih impor. “Tidak ada ruang berkelit bagi kami, tetapi menurut versi MUI, semua produk kami memenuhi kriteria halal,” tegasnya.
sumber : okezone