HAL TERPENTING DARI MODERASI ADALAH ISINYA

0
77

Jakarta, JIC,– Ketua Yayasan Talibuana Nusantara, Endin AJ Soefihara mengungkapkan bahwa istilah moderasi muncul sebagai respons atas fenomena intoleransi yang belakangan santer terjadi di masyarakat.

Bermula dari munculnya istilah ekstrem kanan maupun kiri, istilah tersebut kemudian berlanjut dan bertransformasi menjadi wajah baru dengan makna yang berbeda, yang kerap dikenal dengan istilah intoleransi dan radikalisme. “Itu kan (radikalisme) bergerak dari ekstrem kiri ke ekstrem kanan. Yang kanan makin ke kanan, yang kiri makin ke kiri. Lalu kemudian muncul jalan tengah yang kita mengenalnya dengan istilah wasathiyyah,” ungkap Endin tegasnya saat mengisi Workshop Moderasi Beragama bertajuk Penguatan Pemahaman Moderasi Beragama Ustadz Pendidikan Pesantren, bertempat di Hotel Sofyan, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (2/12/2021).

 

Lebih lanjut, Endin berpendapat bahwa penggunaan istilah wasathiyah kerap menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

Penggunaan istilah tersebut dinilai sebahagian orang identik dengan gerakan kanan. Karenanya, Kementerian Agama kemudian melakukan inisiatif untuk menggunakan istilah yang lebih mudah dipahami masyarakat, yakni moderasi. Karena pilihan kata tersebut dinilai tidak terikat dengan stigma kekananan .

“Kalau menggunakan istilah wasathiyah sepertinya terlalu ke kanan karena dianggap istilah Arab,” terangnya.   Endin pun menekankan agar masyarakat tidak terjebak terkait polemik kata kunci tersebut. Sebab yang paling penting menurutnya adalah isinya, bukan bungkusnya.

“Di kalangan tokoh-tokoh agama kita banyak juga yang tidak menyukai istilah moderasi, kenapa tidak pakai istilah wasathiyah saja. Yang paling penting, kita tidak terlalu penting bungkusnya, yang kita pentingkan adalah isinya,” tuturnya.

Endin berharap agar event semacam ini terus dilaksanakan dan disuarakan dengan lantang di tengah masyarakat. Sebab, melalui penguatan pemahaman moderasi beragama, diharapkan masyarakat mampu mengerti dalam mengimplementasikan sikap, perbuatan, maupun pikiran dalam bingkai kemajemukan.

“Urusan ini tentu kita berharap tidak selesai sampai disini. Kalau urusan hanya selesai sampai disini namanya berurusan. Jadi agar tidak berurusan, (dilaksanakan) terus menerus,” pungkasnya pada kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Talibuana Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Pendidikan Islam Kemenag RI.

Ketua pelaksana Tsabit Latief selaku ketua pelaksana mengapresiasi langkah Kementerian Agama dan Direktorat Pendidikan Agama Islam dalam melibatkan Yayasan Talibuana Nusantara sebagai mitra guna melakukan giat maupun kerja-kerja penguatan moderasi keagamaan yang relevan dengan situasi kekinian.

“Apresiasi dan rasa terima kasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada seluruh pihak kementerian agama yang telah memfasilitasi terselenggaranya kegiatan ini. Kami berharap agar kedepannya kerjasama ini dapat menelurkan output yang bermanfaat bagi masyarakat banyak khususnya para ustadz yang mendedikasikan diri mereka di pondok pesantren,” ujarnya.

 

Adapun tujuan diselengarakannya kegiatan tersebut menurutnya untuk merumuskan dan mendiskusikan berbagai problem yang dihadapi para asatidz serta melakukan penguatan moderasi beragama berbasis pondok pesantren.   “Salah satu inti dari kegiatan ini adalah untuk merumuskan dan mendiskusikan apa-apa yang kita bisa lakukan dalam rangka memberikan kontribusi terkait penguatan moderasi beragama bagi para ustadz di lingkungan pondok pesantren,” tuturnya.

Sebanyak 30 peserta ikut menghadiri kegiatan tersebut yang terdiri dari para asatidz di lingkungan pondok pesantren yang mayoritas berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here