Paradigma materialistik menganggap bahwa segala sesuatu baru ada kalau berwujud secara materi sehingga manusia pun dianggap manusia hanya sebatas tubuh. Dari paradigma ini muncullah paradigma sekularistik adalah suatu pandangan hidup yang memahami bahwa kehidupan hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi ini saja. Ukuran kebahagiaan bagi pemilik paradigma materialistik dan sekularistik adalah kenikmatan tubuh atau jasmani, yang dapat dirasakan sekarang di bumi ini. Sebagian besar mereka mengetahui adanya akhirat, tetapi tidak menjadi kesadaran yang melekat dalam diri mereka. Mereka terpesona dengan kehidupan di dunia seakan-akan kehidupan hanya kini, di sini, di bumi. Mereka menjadi orang-orang yang lalai (ghaflah) akan akhirat. Konsekuensinya, kejarlah semua yang diinginkan sekarang juga, di sini juga. Raih dan miliki, dapatkan dan ambil. Kuasai sekarang juga, di sini juga. Mumpung masih di bumi. Tak pelak, mereka pun berlomba-lomba mencari kenikmatan jasmaniah.
Harga bawang yang meroket, daging sapi yang masih mahal yang mengakibatkan para pembeli (dan ironinya para pedagang kecilnya juga dirugikan) adalah buah karya orang-orang berduit, oknum para pengusaha dan importir, yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli masyarakat dan tetangga di sekeliling mereka mengalami kesulitan.
Mereka bukan preman pasar yang bertampang galak. Mereka berpenampilan rapih, bersih, bicaranya teratur, cerdas dan menempati status sosial yang tinggi. Mereka juga bukan ateis, sebagian mereka bahkan relijius. Sering pergi bolak-balik umroh dan selalu melaksanakan shalat lima waktu. Lalu, mengapa mereka yang kaya, pintar, terhormat dan relijius ini menjadi rakus dan berbuat zalim seperti itu?
Menurut KH. Wahfiudin Sakam, trainer QLP, Spiritualitas Kerja (Spiker) dan Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC), karena mereka relijius tetapi tidak spiritualistik. Mereka kuat dengan simbol-simbol dan ritual keagamaan, tetapi hanya di penampilan dan gerak tubuh, hanya sampai di tenggorokan, tidak sampai ke dalam qalbu. Qalbu mereka penuh noda hitam, bahkan sudah berkarat sehingga qalbu mereka tidak dapat lagi menyuarakan kebajikan, tapi yang bersuara dan diperturuti adalah dorongan-dorongan hawa dan bisikan-bisikan setan dan iblis.
Adapun yang membuat noda hitam dan berkaratnya qalbu ditambah kuatnya dorongan hawa bersama bisikan-bisikan setan dan iblis bersumber dari kesalahan paradigma yang mereka miliki, yaitu paradigma materialistik.
Paradigma materialistik menganggap bahwa segala sesuatu baru ada kalau berwujud secara materi sehingga manusia pun dianggap manusia hanya sebatas tubuh. Dari paradigma ini muncullah paradigma sekularistik adalah suatu pandangan hidup yang memahami bahwa kehidupan hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi ini saja. Ukuran kebahagiaan bagi pemilik paradigma materialistik dan sekularistik adalah kenikmatan tubuh atau jasmani, yang dapat dirasakan sekarang di bumi ini. Sebagian besar mereka mengetahui adanya akhirat, tetapi tidak menjadi kesadaran yang melekat dalam diri mereka. Mereka terpesona dengan kehidupan di dunia seakan-akan kehidupan hanya kini, di sini, di bumi. Mereka menjadi orang-orang yang lalai (ghaflah) akan akhirat. Konsekuensinya, kejarlah semua yang diinginkan sekarang juga, di sini juga. Raih dan miliki, dapatkan dan ambil. Kuasai sekarang juga, di sini juga. Mumpung masih di bumi. Tak pelak, mereka pun berlomba-lomba mencari kenikmatan jasmaniah.
Kalau sudah materialistik otomatis sekularistik, maksudnya segala-galanya harus bisa diperoleh sekarang juga, mumpung di bumi. sehingga yang disebut kenikmatan adalah kenikmatan jasmani. Baginya tidak ada kehidupan ruhaniah nanti di sana. Sifat materialistik dan sekularistik melahirkan sifat hedonistik, yaitu sifat yang mementingkan kesenangan dan kepuasan duniawi, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas, sosial, adat istiadat, maupun agama. Yang penting bisa mendapat kesenangan dan kepuasan. Kata-kata baik atau buruk; benar atau salah, tidak lagi menjadi pedoman. Mereka menghalalkan segala macam cara, maka prinsip hidup yang dianutnya adalah tiga H yaitu: halal, haram, hantam. Mereka menjadi rakus dan selalu kekurangan di tengah kelebihan. Mereka tidak punya lagi perasaan untuk memberi, yang ada semangat untuk mengambil, mengeruk, dan terus mengeruk keuntungan walau harus mempermainkan kebutuhan orang lain dari daging, bawang dan lain-lain. Jika mereka dibiarkan dan pemerintah tidak tegas untuk menghukum, mereka akan mengkloning diri dari sanak saudaranya dan keturunannya sendiri. Maka cepat atau lambat, jumlah mereka akan semakin banyak dan jika seperti itu, berarti bangsa ini telah sepakat untuk hancur bersama-sama dengan saling memangsa; manusia menjadi serigala bagi sesama (homo omini lupus)!
Namun, membebankan tugas kepada pemerintah tidaklah bijak. Para tokoh agama, mubaligh harus turun tangan, berjihad untuk membendung meluasnya paradigma materialistik di tengah-tengah masyarakat dan merehabilitasi mereka yang telanjur memiliki paradigma tersebut dengan berbagai macam metode dan pendekatan. Inilah salah satu jihad penting karena memang kondisi bangsa ini sudah sangat dirusak oleh materialisme. Kasus daging dan bawang hanya puncak gunung es, masih banyak lagi dan akan datang lagi yang sejenis; hanya dua masalah di tengah ribuan masalah yang merusak bangsa ini.
Melawan paradigma adalah dengan paradigma. Perangi dan taklukkan paradigm materialisme dengan spiritualisme, yaitu paham bahwa kehidupan manusia tidak hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi, namun manusia adalah mahluk spiritual atau manusia ruhaniah. Akan ada kehidupan selain di bumi sekarang ini. Allah mengingatkan bahwa manusia bukan hanya tubuh, tetapi juga ruh. Maka sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, JIC pada tahun ini akan mengadakan pelatihan-pelatihan spiritualitas untuk mengubah atau memperkuat paradigma umat dengan paradigma spiritualistik yang terkait dengan pekerjaan dan bisnis. Mohon do`a dari para pembaca, semoga Allah meridhai usaha ini. Aamiin. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC
Â
Â