IJAZAH

0
163

Wacana sertifikasi ulama yang dilontarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menuai kontroversi. Alih-alih menjadi solusi, wacana ini malah dianggap oleh sebagian tokoh Islam dan pengamat sebagai bentuk kehilangan akal dan keputusasaan BNPT dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.

Wacana sertifikasi ulama yang dilontarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menuai kontroversi. Alih-alih menjadi solusi, wacana ini malah dianggap oleh sebagian tokoh Islam dan pengamat sebagai bentuk kehilangan akal dan keputusasaan BNPT dalam menanggulangi terorisme di Indonesia.

BNPT sendiri sudah membantah bahwa wacana sertifikasi ulama guna mengantisipasi gerakan radikal di Indonesia bukan usulan resmi lembaga tersebut, Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT. Irfan Idris, wacana ini mencuat sebagai plintiran media masa ketika ia menjawab pertanyaan insan media massa ketika ia ditanya di acara Sindo Radio. Ia menegaskan bahwa pernyataan tersebut dia lontarkan terkait ketatnya negara tetangga Singapura dalam menanggulangi aksi terorisme mulai dari UU Antiteroris sampai peran ulama. Menurutnya, di Singapura ada 4.000 ustad dan ulama. Dari 4.000 tersebut, sebanyak 1.400 sudah disertifikasi, Ia menegaskan pernyataan tersebut bukan bermaksud mengecilkan peran ulama, namun sebaliknya dia menghargai peran ulama. Hal itu dilontarkannya dikarenakan ada sejumlah ulama yang memiliki keilmuan yang tidak lengkap, hanya membaca buku-buku tertentu saja, dan kemudian membagi ilmu kepada murid sehingga kemudian ditafsirkan makna yang lain oleh si murid. Hal inilah yang cenderung melahirkan gerakan radikal.

Jika kita mencermati pernyataan Irfan Idris terakhir, yaitu maksud pernyataannya itu karena ada sejumlah orang yang dianggap atau dikukuhkan oleh sebagian masyarakat sebagai ulama padahal memiliki keilmuan yang tidak lengkap yang berujung kepada penyesatan pemahaman kepada masyarakat, di antaranya menanamkan paham-paham radikalisme, maka dengan melihat kepada realitas secara obyektif, pernyataan Irfan Idris memiliki kebenaran. Banyak kasus kelompok-kelompok pengajian yang terbukti sesat dan menyesatkan yang sumber kesesatkan tersebut berasal dari tokoh yang dikukuhkan sebagai ulama, padahal tokoh tersebut tidak memiliki persyarataan untuk menjadi ulama. Terlebih, setelah diusut, sebagian besar mereka tidak pernah berguru langsung kepada ulama yang mumpuni, jika pun berguru, tidak sampai tuntas. Ada pula yang berguru kepada buku atau hanya lulusan pesantren kilat dan kursus-kursus singkat ke-Islaman yang instan. Ambil contoh terbaru adalah kasus Sumarna, pemimpin kelompok yang berkedok tarekat Tijaniyah di Sukabumi.

Sebenarnya di kalangan Ahlussunnah Waljama`ah, sertifikasi ulama bukanlah persoalan baru yang mengagetkan. Bukan barang baru. Ia sudah berjalan dan menjadi tradisi yang dijaga ketat sejak ribuan tahun yang lalu sampai hari ini yang disebut dengan ijazah. Jika BNPT ingin mengetahui apakah seorang ulama Ahlussunnah Waljama`ah betul-betul seorang ulama, misalnya di Betawi, datanglah ke rumah orang tersebut. Biasanya, di depan rumah orang yang dianggap ulama di Betawi terpajang sebuah bagan genealogi intelektual si pemilik rumah yang terbingkai indah di dalam kaca dan ditulis dalam bahasa Arab. Tertulis di paling bawah dari bagan tersebut adalah nama si pemilik rumah yang tersambung sampai ke Rasulullah saw. Itulah sanad, silsilah keguruan, yang silsilah itu sampai ke pemilik rumah melalui sertifikasi yang ketat dalam bentuk pemberian ijazah. Ijazah diberikan kepada pemilik rumah oleh gurunya dalam bentuk pernyataan, dia antaranya melalui perkataan, ”`ajaztuka!” yang artinya, ”Aku mengijazahkan (limu ini) kepadamu!”. Gurunya si pemilik rumah juga mengalami hal yang sama, yaitu mendapatkan ijazah dari gurunya dan begitu seterusnya yang silisilah atau sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Satu ijazah diberikan untuk satu disiplin ilmu keislaman; dan pemberian ijazah tersebut sangat ketat. Tidak semua murid mendapatkan ijazah sebuah disiplin ilmu keislaman, hanya murid yang sudah mengusai ilmu tersebutlah yang layak mendapatkan ijazah dari gurunya. Pernyataan yang dipopulerkan oleh seorang ulama terkemuka, Abu Yazid Al-Bustami, yaitu ”Man La Syaikhah, Fasysyaithanu syaikhah. Barang siapa yang tidak mempunyai guru (belajar tanpa guru, termasuk hanya baca dari buku saja), maka Syaitanlah gurunya,” memiliki pengaruh kuat sehingga tradisi ijazah keilmuan di kalangan Ahlussunnah Waljama`ah tetap ada dan terjaga dengan baik. Maka, orang-orang tua di Betawi umumnya tidak akan sembarangan memasukkan anaknya ke tempat pengajian. Mereka akan cari tahu terlebih dahulu ijazah termasuk sanad dari guru anaknya.

Lalu, apa relevansinya ijazah tersebut dengan kiprah dari seorang ulama? Ini yang menarik. Dari hasil penelitian Jakarta Islamic Centre (JIC) sejak tahun 2006 sampai pertengahan tahun 2012 ini tentang ijazah dan sanad ualama Betawi di DKI Jakarta menunjukkan bahwa ulama Betawi yang dikenal baik di tengah masyarakat dan memberikan kontribusi terhadap kedamaian dan kehidupan yang harmonis di tengah masyarakat DKI Jakarta yang majemuk dan kosmopolit umumnya adalah ulama yang memilki ijazah dan sanad keguruan lebih dari satu disiplin ilmu dan lebih dari satu guru. Begitu pula sebaliknya, ulama Betawi yang memiliki kepribadian kurang baik dan tidak disukai oleh masyarakat Betawi khususnya adalah ulama Betawi yang diragukan ijazah dan sanad keguruannya. Akhirulkalam, jika BNPT atau kita ingin mengetahui mana ulama yang sebenarnya dan mana ulama yang jadi-jadian, bisa diketahui dari ijazah keguruannya. Percaya atau tidak? Silahkan dicoba. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here