Di Betawi, status dan tugas keulamaan tidak hanya diemban dan didominasi oleh kaum lelaki, tetapi juga perempuan.Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah, Dr. Hj. Suryani Thahir dan Dr. Faizah Ali Syibromalisi adalah tiga ulama Betawi perempuan yang dikenal sekarang ini.
Memang masih sangat sedikit informasi mengenai riwayat dan kiprah ulama Betawi perempuan tempo dulu. Dua di antaranya adalah Ustadzah Saleha Thabrani (seorang muballighah) dan Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah (pengarang risalah berbahasa Arab Melayu yang berjudul Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Sholat Iedain).
Informasi tentang Ustadzah Salehah Thabrani diperoleh dari Ridwan Saidi dalam Potret Budaya Manusia Betawi (2011). Ridwan menyebutkan bahwa Ustadzah atau Ny. Salehah Thabrani adalah mubalighah kondang di Betawi selama hampir dua dasawarsa, 1950-1960. Informasi tentang Ustadzah Saleha Thabrani sangat sulit didapat karena belum ditemukannya sumber yang dapat memberikan informasi mengenai profilnya. Sedangkan informasi tentang Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah bisa dikatakan memadai karena diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya, yaitu dari anak keduanya, H. Saifullah Hasbiyallah.
Berikut ini empat orang ulama perempuan terkemuka dari Betawi
1.  Nyai Hj. Siti Zubaidah KH. Hasbiyallah
Nama lengkapnya Siti Zubaidah binti H. Hasanuddin. Ia merupakan anak pertama dari sembilan saudara dari hasil perkawinan H. Hasanuddin dan Hj. Hindun. Lahir sekitar tahun 1941 atau tahun 1942 di Cipinang Kebembem, Jatinegara.
Sejak kecil sampai menikah, ia mengaji kitab kuninga kepada KH. Abdul Hadi, seorang ulama Betawi di Cipinang Kebembem. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya adalah nahwu shorof, akidah, akhlak dan fiqih. Di usia sekitar 21 tahun atau Pada tahun 1962, ia dinikahi oleh KH. Hasbiyallah pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah sebagai istri yang ketiga. Dari hasil perkawinannya ini, ia dikarunia dua orang anak, putra dan putri, yaitu Hj. Hilmah dan H. Saifullah Hasbiyallah. Pada tahun 1973, ia menunaikan ibadah haji yang pertama. Kemudian menunaikan ibadah haji kembali pada tahun 1978, 1994, 1995, dan tahun 1996. Seringnya ia pergi hari karena ia membuka bimbingan haji pada tahun 1994. Pada tahun 1996, bimbingan hajinya berbadan hukum yayasan dengan nama KBIH Al-Istiqamah Az-Zubaidiyyah yang kini diteruskan oleh anaknya, KH. Saifullah Hasbiyallah.
Walau sudah menikah dan kemudian mempunyai anak, ia tetap menerukan pendidikan agama non-formalnya dengan mengaji kitab kuning kepada suaminya, KH. Hasbiyallah. Ia tipe pembelajar yang tekun dan gigih. Hampir setiap hari, ia mengaji kitab kuning setiap selesai sholat dzuhur atau selesai sholat ashar, tergantung waktu yang diluangkan oleh suaminya sampai kitab-kitab yang dipelajarinya itu selesai atau khatam. Maka wajar jika ia sangat paham tentang isi kitab Alfiyah Syarah Ibnu Malik, Bulughul Maram dan Ihya `Ulumiddin.
Selain mengaji, ia juga turut mengajar di 22 majelis taklim ibu-ibu setiap bulannya. Majelis taklimnya tersebar di sekitar Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak, Kampung Sumur, Rawa Badung, Kampung Jati, Cipinang dan Pulo Kambing. Ia juga menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Selain mengajar keluar, ia juga dipercaya oleh suaminya untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah. Bahkan, ia membantu suaminya untuk mencarikan dana ketika pondok pesantren tersebut dalam masa pembangunan. Cara yang dilakukannya untuk mencari dana pembangunan tersebut cukup unik bahkan terbilang cerdas pada masa itu, yaitu dengan menulis sebuah risalah berbahasa Arab Melayu yang berjudul Kaifiyah Sembahyang Tarawih dan Sholat Iedain. Risalah ini kemudian ia cetak dan diperbanyak kemudian dijual kepada murid-muridnya dan kepada murid atau jama`ah suaminya.. uang hasil penjualan risalah ini kemudian digunakan untuk membangun pondok pesantren putri tersebut. Sebenarnya, ia banyak menulis risalah, namun tidak sempat tercetak. Risalah-risalah yang masih berbentuk manuskrip itu kini hilang pada saat kediamaanya dilakukan renovasi untuk pelebaran jalan raya.
Santri-santrinya yang mondok dan yang pulang pergi (santri kalong) berasal dari sekitar Klender, Bogor, Cinere, Taman Mini, dan yang terbanyak dari Bekasi. Pada tahun 1986, ia tidak lagi menerima santri yang menginap, hanya menerima santri yang pulang pergi sampai ia wafat pada tahun 1996 tepatnya pada tanggal 22 Rabi`ul Tsani dan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar KH. Hasbiyallah di depan Masjid Jami` Al-Ma`mur, Klender.
2. Hj. Tuti Alawiyah
Nama lengkapnya beserta gelar adalah Dr. Hj. Tuty Alawiyah Abdullah Syafi’ie. Dia lahir di Jakarta, 30 Maret 1942 dan wafat di Jakarta, 4 Mei 2016 pada umur 74 tahun. Putri kandung dari KH. Abdullah Syafi`ie, pendiri dan pemimpin  Lembaga Pendidikan Islam As-Syafi’iyah,  ini pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada tahun 1998 hingga tahun 1999 pada Kabinet Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan.  Diamerupakan lulusan IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan. Dia juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari tahun 1992 hingga 2004 dari Utusan Golongan.
Sejak kecil, Hj. Tuti Alawiyah sudah memiliki bakat dakwah yang diwarisi dari ayahnya. Ketika kecil, dia sering mendengarkan ayahnya mengajar ngaji. Maka, saat usia 9 tahun, dia diundang ke Istana Negara untuk membaca Al Qur’an dihadapan Presiden Soekarno.
Ketika dia tamat SD (Sekolah Dasar)Â dari SD Slamet Riyadi pada tahun 1954, ayahnya menganjurkannya masuk Madrasah Tsanawiyah. Sebagai anak yang taat kepada orang tuanya, dia pun menurut. Tapi, diam-diam dia juga masuk SMP. Ibunya, Hajjah Rogayah, setelah mengetahuinya sekolah rangkap, sempat khawatir. Namun, kemudian sang Ibu mendukungnya setelah tahu bahwa dia mampu menjalaninya.
Hj. Tuti Alawiyah melanjutkan kuliahnya dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ushuludin, Institut Agama Islam Negeri (lAIN) Jakarta. Hampir bersamaan dia juga menyelesaikan kursus di Lembaga Indonesia Amerika (LlA) Jakarta.
Dia kemudian aktif dan menjabat di berbagai organisasi sosial baik lokal maupun internasional. Di antaranya sebagai Anggota Pendiri Yayasan As-Syafi’iyah, Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Wakil Ketua GUPPI (Gabungan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam), anggota CIDES (Center for Information and Development Studies), anggota Dewan Pembina Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (BAMUS BETAWI) dan Menteri Urusan Peranan Wanita di era Orde Baru.
Masa kecilnya, diakuinya sebagai masa yang bahagia. Kehidupan ekonomi keluarganya tidak stabil. Kadang berkecukupan, di saat lain hidup serba pas-pasan. Ayahnya, meskipun ulama besar, menerapkan hidup sederhana di keluarganya.
Diceritakan olehnya, suatu hari ketika hendak makan, ibunya menggoreng sebutir telur ceplok. Setelah matang, sang Ayah membaginya menjadi empat bagian. Masing-masing untuk Ayah, Ibu, dirinya, dan saudaranya. “Kami semua kebagian telur, walau sedikit,” ujarnya tertawa, mengenang masa kecil yang indah.
Sejak kecil. Dia telah memiliki berbakat seni. Tapi dia tidak mengekspresikan Jiwa keseniannya, karena takut pada sang Ayah yang mengajarkan pendidikan agama secara ketat. Namun, diam-diam dia menulis puisi dan mengumpulkannya.
Kini kumpulan tulisan puisinya cukup banyak. Melalui Badan Kontak Majlis Ta’lim (BKMT) yang dipimpinnya, dia juga menggubah lagu qosidah. Juga dia mengatur tarian kolosal (tari konfigurasi) dengan berbagai macam bentuk, membentuk logo BKMT, lafadz Allah, hingga AI Qur’an.
BKMT adalah salah satu terobosannya dalam mengembangkan dakhwah kalangan kaum ibu. Awalnya, dia melihat majlis ta’lim kaum ibu memiliki potensi besar, lalu dia membentuk lembaga agar profesional sehingga dakwah lebih mengena dihati masyarakat. BKMT berdiri 1 Januari 1981 berawal dihadiri oleh sekitar 800 ustadzah pimpinan majlis Ta’lim.
BKMT menjadi wadah konsultasi dan pembinaan bagi anggotanya. BKMT dibawah kepemimpinannnya memiliki program, antara lain; peningkatan mutu dan keterampilan tenaga pengajar di majlis ta’lim, supaya pengelolaan majlis ta’lim lebih profesional. Untuk mencapai tujuan, diadakan pelatihan pidato, mulai dari penyusunan naskah hingga penyajiannya.
Untuk lebih mampu menjawab tantangan zaman, para ustadzah diundang mengikuti seminar di berbagai tempat terutama di Universitas Islam As-syfi’iayah (UIA) Jakarta. Selain dakhwah secara lisan dan pendidikan, BKMT Juga melakukan aksi dakhwah secara nyata “Dakwah bil hal” seperti santunan yatim, santunan untuk korban bencana, beasiswa dan lain-lain.
3. Hj. Siti Suryani Taher
Dr. Hj. Siti Suryani Taher Lahir di Jakarta, 1 Januari 1940 dari pasangan almarhum KH. M. Thohir dan almarhumah Hj. Salbiyah, keluarga yang menjalankan dengan teguh ajaran Islam dan wafat pada hari Sabtu, 5 September 2015.
Orangtuanya merupakan pendiri sekaligus pemilik perguruan Islam yang bernaung di bawah Yayasan Addiniyah Attahiriyah. Pendidikan formalnya berada dalam lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sejak usia tujuh tahun ia bersekolah di Madrasah Diniyah Awaliyah As-Syafi’iyah Bali, Matraman Tebet, asuhan KH. Abdullah Syafi’ie. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tsanawiyah Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 1953. Setelah tamat, menempuh pendidikan selama satu tahun lagi di Madrasah Mualimat Tanah Tinggi, Jakarta, tepatnya pada tahun 1958.
Semangat anak pertama dari lima belas bersaudara ini untuk terus belajar memang menggebu-gebu. Hal ini dapat dilihat dari diteruskannya pendidikan selama delapan tahun di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sepulang dari kuliah di luar negeri, ia mendirikan Majelis Ta’lim Kaum Ibu Attahiriyah disingkat MTKIA, dengan mengadakan pengajian secara rutin di Mushalla At Taqwa setiap Sabtu pagi. Dalam perkembangannya, karena jumlah jamaahnya semakin banyak, dibangun Masjid Jami Attaqwa tahun 1968. MTKIA kemudian berkembang menjadi Kursus Bahasa Arab dan Agama (KURBA), yang kemudian banyak melahirkan mulbaligh intelektual. Kesemuanya mengarah pada penguatan perkembangan Perguruan Attahiriyah, yang mencakup pendiikan dasar hingga tinggi yang cabangnya tersebar hampir di seluruh penjuru Jakarta.
4. Saidah Said, MA
Hj Saidah Said, MA lahir di Jakarta pada tanggal 07 Agustus 1945. Ibarat ilmu padi yang semakin berisi semakin menunduk, itulah gambaran sikap yang selalu dicontohkan Hj. Saidah Said. Pernikahannya dengan H. Syarifudin membuahkan Sembilan orang anak. Namun di tengah kesibukannya sebagai istri dan ibu tetap berusaha bisa mengabdikan dirinya kepada masyarakat.
Hj. Saidah Said menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada tahun 1966. Sebagai alumni pondok pesantren, Hj. Saidah Said memiliki bekal ilmu keagamaan yang cukup. Melihat perkembangan sosial yang ada, dia sadar sekali bahwa masyarakat semakin membutuhkan bimbingan dan pengajaran agama, untuk mempertebal keimanan serta menguatkan mental mereka menghadapi berbagai godaan di era globalisasi. Bersama suami, H. Syarifudin (almarhum) dan tokoh-tokoh lain, dia pun mendirikan Yayasan Al-Hikmah sejak tahun 1970. Sedangkan peresmiannya baru dilakukan pada tahun 1972, setelah mendapat restu dari salah salah satu ulama Betawi, KH. Abdullah Syafi’ie. Tujuannya didirikan Yayasan Al-Hikmah adalah untuk pengembangan syiar Islam.
Nama Al-Hikmah berdasarkan pada al-Qur’an yang terdapat pada surat AI-Baqarah ayat 269 yang artinya, “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Majelis Taklim Al-Hikmah menganut paham Ahlussunah Wal Jamaah: sebuah pola nalar dalam Islam yang merujuk pada al-Qur’an, Sunah Nabi Muhammad SAW, sunnah Khulafa’ur Rasyidin (empat Khalifah Islam yang sekaligus merupakan para sahabat utama Nabi).
Pada awal berdirinya, Majelis Taklim Al-Hikmah diikuti hanya oleh 8 (delapan) orang. Tapi keadaan itu tidak menyurutkan semangat. Saidah untuk menyampaikan ajaran Islam, atau membagi ilmu yang dimilikinya. Melalui majlis taklim AI-Hikmah juga Saidah mengajarkan sikap-sikap positif dalam bermasyarakat. Sikap-sikap itu adalah Tawassuth (sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat at-tatharruf (ekstrim), melainkan dengan pendekatan tasammuh (sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat), dan tawazun (sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah SWT).
Perlahan tapi pasti, Majlis Taklim Al-Hikmah pun mendapat kepercayaan dari masyarakat. Jamaahnya terus bertambah. Dengan berjalannya waktu dan ditambah dengan antusiasme ibu-ibu se-Jabodetabek terhadap kegiatan-kegiatan positif yang sering diadakan oleh Majelis Taklim al-Hikmah, sekarang anggota majelis taklim ini sudah mencapai ribuan, meliputi 35 majelis taklim yang tersebar di wilayah Jabodetabek.
Ribuan ibu-ibu itu kerap mengadakan maulid, manaqiban, membaca hizib, jausan dan lain-lain. Mereka rela menyisihkan waktu disela-sela aktivitas bekerja bagi yang masih produktif, atau menyisihkan waktu dari kegiatan di rumah bagi yang sudah usia lanjut.
Pengajian yang diberikan bermateri Akidah, Tafsir, Nahwu Shorof, Fikih dan Tasawuf. Mereka menggunakan kitab-kitab rujukan seperti mu’tabaroh yang biasa di sampaikan di pesantren-pesantren tradisional.
Saat ini, di usia yang sudah tidak cukup muda, beliau masih sangat aktif menghadiri kegiatan-kegiatan majlis taklim. Bukan sekedar menghadiri, kerap kali beliau juga sering diminta para jamaah majlis taklim untuk menjadi pengisi pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh berbagai majlis taklim yang berada di Jabotabek (Jakarta Bogor-Tangerang-Bekasi). Hal ini menunjukkan kedalaman ilmu yang beliau dapatkan dan beliau amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain mengajar, Hj. Saidah Said juga menulis buku. Dua karyanya yang sudah beredar berjudul Fiqih Keumatan dan Doa-doa Menggapai Keberkahan.