MEMAHAMI KONSEP ASURANSI ISLAM MENURUT STANDAR SHARIAH NO. 26 AAOFI BAGIAN III

0
58
memahami-konsep-asuransi-islam-menurut-standar-shariah-no-26-aaofi-bagian-3

Memahami Konsep Asuransi Islam Menurut Standar Shariah No. 26 AAOFI

(Bagian III-Selesai)

oleh:

Prof. Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA.

(Profesor Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah

Universitas Hayam Wuruk Perbanas)

 

Pendahuluan

Pada bagian II, telah dibahas mengenai berbagai aspek mendasar dalam asuransi syariah, termasuk jenis-jenis asuransi yang diperbolehkan menurut prinsip syariah, partisipasi baik oleh Muslim maupun non-Muslim, serta kewajiban peserta dalam menjaga transparansi informasi dan membayar kontribusi tepat waktu. Selain itu, dibahas pula ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi syariah, yang harus selaras dengan prinsip keadilan dan hukum syariah, serta tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian) atau riba. Pada bagian III ini, pembahasan akan berfokus pada beberapa aspek penting lainnya dalam operasional asuransi syariah, yaitu komitmen dan yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa, konsep indemnity atau ganti rugi, mekanisme distribusi surplus, serta kondisi-kondisi yang menyebabkan berakhirnya kebijakan asuransi. Keempat elemen ini memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip syariah tetap ditegakkan dalam setiap aspek transaksi asuransi syariah.

Komitmen dan Yurisdiksi Perusahaan Saham Bersama dalam Asuransi Syariah

Perusahaan saham bersama dalam asuransi syariah memiliki berbagai tanggung jawab dalam mengelola operasional asuransi sesuai dengan prinsip syariah. Perusahaan bertindak sebagai operator yang mengurus penerbitan polis, pengumpulan kontribusi, pembayaran ganti rugi (indemnity), serta tugas teknis lainnya. Sebagai imbalan atas layanan ini, perusahaan berhak menerima fee yang telah disepakati dan disetujui oleh peserta melalui kontrak.

Dalam menjalankan tugasnya, perusahaan wajib mengutamakan kepentingan peserta dan bertindak sebagai pengelola dana mereka dengan amanah. Namun, perusahaan tidak diperbolehkan menjamin aset asuransi, kecuali dalam hal terjadi kelalaian, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pihak perusahaan sendiri. Hal ini menegaskan bahwa perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola dana, bukan sebagai penjamin risiko.

Segala biaya yang berkaitan dengan operasional perusahaan, termasuk biaya pra-operasional dan biaya bisnis lainnya, harus ditanggung oleh perusahaan itu sendiri. Modal yang digunakan untuk operasional perusahaan juga harus berasal dari dana pemegang saham dan tidak boleh diambil dari dana peserta. Dengan demikian, pemisahan yang jelas antara dana peserta dan dana perusahaan menjadi prinsip utama dalam asuransi syariah.

Selain itu, cadangan wajib perusahaan diambil dari modal sahamnya sendiri dan menjadi bagian dari ekuitas pemegang saham. Tidak diperkenankan adanya pemotongan dana dari peserta atau keuntungan mereka untuk kepentingan pemegang saham perusahaan. Sebaliknya, demi kepentingan peserta, sebagian dari dana atau keuntungan mereka dapat dialokasikan sebagai cadangan atau alokasi khusus untuk dana asuransi. Jika terjadi likuidasi, saldo yang terkumpul dalam rekening asuransi harus disalurkan untuk kegiatan amal, bukan dikembalikan kepada pemegang saham perusahaan.

Dalam hal terjadi kerugian akibat tindakan pihak lain, perusahaan memiliki hak untuk mengajukan klaim indemnitas terhadap pihak yang bertanggung jawab. Perusahaan dapat mengajukan tuntutan hukum atas nama peserta untuk menuntut ganti rugi, memperoleh hak-hak yang diakui, serta menyalurkan hasilnya ke dalam rekening asuransi. Proses ini bertujuan untuk melindungi kepentingan peserta dan memastikan hak-hak mereka tetap terjaga.

Terkait investasi dana peserta, jika perusahaan menggunakan skema Mudarabah, maka biaya yang timbul harus ditanggung oleh perusahaan sesuai dengan ketentuan syariah tentang Mudarib, sebagaimana yang diatur dalam Standar Syariah No. 13. Namun, jika investasi dilakukan melalui skema Wakalah bil Ujrah, maka pengelolaannya harus mengikuti aturan syariah yang berlaku dalam skema wakalah.

Apabila aset asuransi dan dana yang diperoleh dari reasuransi tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim, perusahaan diperbolehkan menutupi defisit dengan pembiayaan proyek atau menggunakan Qard Hasan (pinjaman tanpa bunga) yang akan dibebankan kepada dana asuransi. Dalam kondisi tertentu, defisit dalam tahun berjalan dapat ditutup dengan surplus dari tahun-tahun berikutnya. Selain itu, peserta asuransi juga dapat diminta untuk menanggung defisit ini jika hal tersebut telah disepakati dalam perjanjian polis.

Biaya dan pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan asuransi harus sepenuhnya ditanggung oleh rekening asuransi. Perusahaan tidak diperbolehkan membebankan biaya operasionalnya sendiri kepada dana peserta, kecuali untuk biaya yang secara langsung berkaitan dengan pengelolaan asuransi syariah.

Dalam hal penyelesaian sengketa, tidak ada larangan dalam syariah bagi perusahaan untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak yang menyebabkan kerugian. Namun, kesepakatan tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan peserta dan tetap sesuai dengan ketentuan hukum syariah yang berlaku. Prinsip ini memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak merugikan peserta dan tetap berada dalam koridor keadilan serta transparansi.

Dengan adanya komitmen dan yurisdiksi yang jelas, perusahaan saham bersama dalam asuransi syariah dapat menjalankan perannya dengan tetap berpegang pada prinsip syariah. Hal ini tidak hanya melindungi kepentingan peserta, tetapi juga memastikan bahwa seluruh operasi asuransi berjalan secara etis, transparan, dan berkelanjutan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Ganti Rugi (Indemnitas) dalam Asuransi Syariah

Peserta asuransi berhak menerima ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dialaminya akibat suatu musibah atau sejumlah nilai pertanggungan yang telah disepakati dalam polis, tergantung mana yang lebih rendah. Pembayaran ini dilakukan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam sistem asuransi syariah untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam hal peserta menerima ganti rugi dari perusahaan asuransi, ia tidak diperbolehkan menerima kompensasi tambahan dari pihak lain atas kerugian yang sama. Ketentuan ini bertujuan untuk menghindari adanya keuntungan ganda (double compensation) yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam asuransi syariah. Peserta hanya berhak menerima satu bentuk ganti rugi, baik dari perusahaan asuransi maupun dari pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Dalam asuransi harta benda, besaran ganti rugi yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam regulasi. Indemnitas dalam jenis asuransi ini dapat mencakup kerugian tambahan atau kerugian tidak langsung yang dapat diukur secara wajar berdasarkan tingkat kerusakan atau kehilangan yang terjadi. Penentuan jumlah ganti rugi harus dilakukan secara objektif dan tidak boleh melebihi nilai kerugian aktual yang dialami peserta.

Dengan menerapkan prinsip indemnitas yang jelas dan transparan, asuransi syariah memastikan bahwa pembayaran ganti rugi dilakukan secara adil dan sesuai dengan kebutuhan peserta, tanpa ada unsur eksploitasi atau keuntungan berlebih yang tidak sejalan dengan nilai-nilai syariah.

Surplus Asuransi dalam Asuransi Syariah

Surplus asuransi merupakan bagian dari aset yang terdapat dalam akun asuransi dan harus dikelola sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam standar syariah. Surplus ini berasal dari kelebihan dana setelah semua klaim dan kewajiban perusahaan terhadap peserta asuransi terpenuhi. Dalam sistem asuransi syariah, surplus tidak boleh dianggap sebagai keuntungan perusahaan, melainkan harus dialokasikan sesuai dengan prinsip keadilan dan kesepakatan yang berlaku.

Distribusi surplus kepada peserta asuransi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, tergantung pada metode yang telah ditentukan dalam regulasi. Metode pertama adalah distribusi surplus kepada seluruh peserta asuransi berdasarkan proporsi kontribusi mereka, tanpa memperhitungkan apakah mereka telah menerima klaim selama periode keuangan tertentu atau tidak. Pendekatan ini mencerminkan asas kebersamaan dalam asuransi syariah.

Metode kedua adalah mendistribusikan surplus hanya kepada peserta yang tidak menerima klaim selama periode keuangan tertentu. Hal ini memberikan insentif bagi peserta yang tidak mengalami klaim dan dapat meningkatkan keberlanjutan dana asuransi.

Metode ketiga adalah distribusi surplus kepada peserta asuransi setelah mengurangi jumlah klaim yang telah mereka terima selama periode keuangan yang sama. Dengan cara ini, peserta yang menerima manfaat asuransi tetap mendapatkan bagian dari surplus, tetapi dalam jumlah yang telah disesuaikan.

Selain metode-metode tersebut, distribusi surplus juga dapat dilakukan dengan cara lain yang disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini bertugas memastikan bahwa distribusi dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan tidak mengandung unsur riba, gharar, atau ketidakadilan. Dengan adanya sistem surplus ini, asuransi syariah menegaskan prinsip ta’awun (tolong-menolong) dan menjamin bahwa dana yang dikumpulkan dari peserta digunakan secara adil dan transparan demi kemaslahatan bersama.

Masa Berakhirnya Polis Asuransi

Polis asuransi berakhir dalam beberapa kondisi yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Pertama, polis asuransi berakhir secara otomatis setelah mencapai jangka waktu yang telah disepakati. Dalam kasus asuransi properti, dapat dicantumkan klausul bahwa polis akan diperbarui secara otomatis kecuali peserta asuransi menginformasikan kepada perusahaan, dalam jangka waktu tertentu sebelum masa berakhirnya kontrak, mengenai keinginannya untuk tidak memperpanjang polis.

Kedua, polis dapat dihentikan oleh perusahaan atau peserta asuransi jika dalam perjanjian disebutkan bahwa kedua belah pihak memiliki hak untuk mengakhiri kontrak. Dalam hal ini, penghentian polis harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian asuransi.

Ketiga, dalam asuransi properti, polis berakhir apabila properti yang diasuransikan mengalami kerusakan total. Namun, hal ini tidak serta-merta membatalkan hak peserta untuk menerima ganti rugi (indemnity), selama masih sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam kontrak yang telah disepakati.

Keempat, dalam asuransi jiwa, polis berakhir apabila tertanggung meninggal dunia. Namun, hal ini tidak membatalkan hak ahli waris atau penerima manfaat untuk menerima santunan asuransi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian polis.

Dengan adanya ketentuan ini, peserta asuransi memiliki pemahaman yang jelas mengenai masa berlaku polis mereka dan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan polis berakhir, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat terkait perlindungan asuransi mereka.

Penutup

Sebagai penutup, asuransi syariah menurut Shari’ah Standard (SS) No. 26 dirancang untuk memastikan bahwa seluruh mekanisme, prinsip, dan operasionalnya sesuai dengan hukum Islam. Prinsip utama yang mendasarinya adalah tolong-menolong (ta’awun) dan berbagi risiko di antara para peserta, berbeda dengan asuransi konvensional yang berbasis pada transaksi jual beli risiko. Dalam asuransi syariah, aspek indemnitas, distribusi surplus, dan masa berakhirnya polis diatur dengan ketentuan yang memastikan keadilan serta menghindari unsur gharar (ketidakpastian), riba (bunga), dan maysir (spekulasi). Dengan adanya regulasi yang jelas seperti dalam SS No. 26, asuransi syariah dapat menjadi solusi perlindungan keuangan yang tidak hanya memberikan manfaat finansial bagi peserta, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai syariah yang menekankan keadilan, transparansi, dan keberkahan dalam muamalah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here