Membangun Jiwa JIC

0
227

Ketika kita berbicara tentang membangun JIC yang berlokasi di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, sebenarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana membangun jiwa, bukan bagaimana membangun badan. Lagu kebangsaan kita Indonesia Raya pun berpesan kepada kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya ….” Ini agaknya tidak berlebihan. Sebab, ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an surah ar-Ra‘d [13] ayat 11 yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum (Arab: mâ biqaumin) sampai mereka sendiri mengubah apa yang ada dalam diri mereka (Arab: mâ bi anfusihim). Malik bin Nabi, seorang filosof Muslim berkebangsaan Aljazair, memahami bahwa “apa yang ada dalam diri mereka” (mâ bi anfusihim) pada ayat itu adalah jiwa atau mentalitas. Artinya, umat ini hanya akan berubah menjadi lebih baik kalau mentalitas atau jiwanya pun baik.

Oleh: Muhammad Arifin, 087885195601, 08118600139

Seperti maklum diketahui, latar belakang dibangunnya Jakarta Islamic Center (JIC) didasari oleh niat untuk menciptakan perubahan. Tentu bukan sekadar perubahan, melainkan perubahan dari buruk menjadi baik, dari lingkungan yang akrab dengan maksiat menjadi lingkungan yang dekat dengan Tuhan.

Ketika kita berbicara tentang membangun JIC yang berlokasi di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, sebenarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana membangun jiwa, bukan bagaimana membangun badan. Lagu kebangsaan kita Indonesia Raya pun berpesan kepada kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya ….” Ini agaknya tidak berlebihan. Sebab, ini sejalan dengan ajaran Al-Qur’an surah ar-Ra‘d [13] ayat 11 yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum (Arab: mâ biqaumin) sampai mereka sendiri mengubah apa yang ada dalam diri mereka (Arab: mâ bi anfusihim). Malik bin Nabi, seorang filosof Muslim berkebangsaan Aljazair, memahami bahwa “apa yang ada dalam diri mereka” (mâ bi anfusihim) pada ayat itu adalah jiwa atau mentalitas. Artinya, umat ini hanya akan berubah menjadi lebih baik kalau mentalitas atau jiwanya pun baik.

Dari situ, bangunan fisik JIC yang terkesan cukup megah itu tidak akan terlalu banyak artinya tanpa ada upaya-upaya membangun jiwa dan membangun mentalitas. Pertanyaannya: apakah selama ini pembangunan jiwa itu belum dilakukan? Tentu saja sudah, bahkan mungkin sudah sering dilakukan. Tetapi, jika kita berkaca pada pepatah Arab istiqâmat as-sîrah ma‘a shafâ’ as-sarîrah (baiknya rupa sejalan dengan bersihnya jiwa), maka air kolam di lingkunan JIC yang kotor menandakan jiwa kita yang belum jernih.

Memang, salah satu kendala sehingga JIC sempat “terbengkalai” selama beberapa tahun, agaknya terletak pada lokasi JIC yang cukup jauh di ujung utara kota Jakarta. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan terkesan kurang peminat. Bukan karena kegiatan itu tidak menarik, tetapi lebih karena tempat itu cukup jauh untuk ditempuh. So what? Hemat saya, untuk membangun jiwa agaknya JIC perlu mengembangkan pendidikan Islam yang sudah mengakar pada bangsa Indonesia ini: pesantren. Dari pesntrenlah lahir banyak pejuang dengan mental yang kuat. Dari pesantren lahir cendekiawan cerdas, dan dari pesantren pula lahir kyai yang ikhlas. Lokasi pesantren besar seperti Gontor, dulu adalah tempat para penjudi dan pemain perempuan. Lokasi pesantren Tebu Ireng pun awalnya adalah tempat maksiat. Maka tidak mustahil dari Kramat Tunggak tempat kotor ini, dari JIC ini, pun akan lahir pesantren modern yang mencerdaskan bangsa. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here