MUHAMMADIYAH DI BETAWI

0
296

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki (Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre)

Meskipun kebanyakan orang Betawi dalam paham keislamannya berpaham Ahlussunnah Wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah, namun ada pula sebagian orang Betawi berpaham di luar paham tersebut dan atau berkiprah di organisasi keislaman non Ahlussunnah Wal Jama`ah Asy-Syafi`iyyah, seperti di Muhammadiyah. Sekedar contoh adalah Prof. Dr.  H. Agus Suradika, M.Pd, yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi DKI Jakarta. Ia  putra asli dan salah seorang tokoh Betawi yang merupakan orang Muhammadiyah yang kini menjadi Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jakarta.

Awal keberadaan Muhammadiyah di tanah Betawi, seperti yang saya kutip dari situs Jakarta.muhammadiyah.or.id dan beberapa sumber lainnya, bermula dari didirikannya Muhammadaiyah Cabang Jakarta yang bertepatan dengan hari ulang tahun Muhammadiyah ke-9, yaitu pada tanggal 18 November 1921. Gagasan pendirian Muhammadiyah Cabang Jakarta ini dimulai pada tahun 1920, yaitu ketika KH. Ahmad Dahlan dalam perjalanannya ke tanah suci singgah terlebih dahulu di Jakarta. Dalam kesempatan singgah di Jakarta itu, pada jam 02.00 pagi, di atas jalan kereta api Tanah Tinggi , wilayah Senen, KH. Ahmad Dahlan mendapat kesempatan  mengadakan kontak langsung serta sekaligus memberikan wejangan kepada beberapa orang, seperti Kartosudarmo, Soewito, Sardjono dan Wirjosudarmo – yang belakangan kemudian dikenal sebagai pelopor berdirinya Muhammadiyah di Jakarta. Sebenarnya sebelum pertemuan tersebut, di antara perintis Muhammadiyah Cabang Jakarta itu, sudah ada yang pernah mengadakan kontak dengan KH. Ahmad Dahlan, baik dengan melakukan korespondensi maupun menerima pelajaran secara langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Namun demikian, pertemuan di Jakarta kali ini benar-benar bersejarah. Dikarenakan sesudah pertemuan dengan KH. Ahmad Dahlan tersebut, api Muhammadiyah mulai berkobar di setiap dada angkatan perintis Muhammadiyah Jakarta. Berdirinya Cabang Jakarta ini kemudian disahkan oleh Pusat Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta dengan surat ketetapan No. 10.b.tgl.1 Juli 1928. Jadi baru 7 (tujuh) tahun kemudian mendapatkan pengesahan dari Pusat Pimpinan di Yogyakarta.

Langkah awal untuk memasyarakatkan Muhammadiyah di Jakarta ini selain dimulai dengan kegiatan tabligh dan pengajian dari kampung ke kampung, juga ditempuh melalui jalur pendidikan. Tahun 1923 untuk yang pertama kalinya Muhammadiyah Cabang Jakarta berhasil membuka sekolah Kweekschool di gang kenari (Jakarta Pusat) yang dikepalai oleh R. Hidajatullah. Sementara murid-muridnya kebanyakan berasal dari luar Jawa, seperti dari Bengkulu, Liwa, Baturaja, Menggala, Palembang, Lahat, dan lain-lain. Murid-murid inilah yang kemudaian menjadi kader serta pelopor berdirinya cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatra Selatan.

Dalam perjalanan Muhammadiyah, kegiatan bidang pendidikan ini memang diandang cukup berhasil. Beberapa sekolah dasar telah didirikan, antara lain di Kebayoran Baru. Bahkan sekolah Algemene Middelbare School (AMS) yang merupakan sekolah Muhammadiyah, berlokasi di Jl. Kramat Raya 49, amat terkenal sewaktu di bawah pimpinan Ir. Djuanda dan Mr. Maria Ulfa. Dengan berdirinya sekolah-sekolah tersebut menunjukan bahwa keberhasilan Muhammadiyah dibidang pendidikan cukup menggembirakan. Anak-anak yang tidak bisa diterima di sekolah lain, dapat diterima di lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah.

Meskipun Muhammadiyah di Jakarta telah menunjukkan eksistensinya,  namun pada awal kehadirannya tidak sedikit mendapat fitnah dan hasutan serta buruk sangka dari kalangan masyarakat Jakarta. Sehingga boleh dikatakan bahwa sekitar sembilan puluh persen dari masyarakat Jakarta pada waktu itu adalah anti Muhammadiyah. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya masyarakat Islam di Jakarta, khususnya di Betawi, berpegang teguh pada tradisi, paham dan praktik  keagamaan yang berbeda dengan Muhammadiyah. Maka ketika Muhammadiyah mempunyai paham dan praktik keislaman yang berbeda dari mereka, memunculkan resistensi. Seperti shalat Idul Fithri dan Idul Adha di lapangan, bukan di masjid; shalat tarawih sebelas rakaat dan shalat Subuh tanpa qunut. Tetapi kecaman dan hasutan itu sedikit demi sedikit berkurang. Hal ini seiring dengan keberhasilan Muhammadiyah di Jakarta dalam mengembangkan Persyarikatan berikut amal usahanya, baik dalam bidang tabligh, pendidikan (dari TK sampai Perguruan Tinggi), kesehatan, maupun kegiatan sosial keagamaan lainnya.

Keberhasilan dan majunya Muhammadiyah di Jakarta di dalam amal usahanya juga telah menarik perhatian sebagian orang Betawi, terutama di bidang pendidikannya. Banyak orang Betawi yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di luar Jakarta. Seperti K.H. Abdul Manaf Mukhayyar, ulama Betawi dan salah seorang tokoh pendidikan, yang telah berhasil mendirikan salah satu pondok pesantren terkemuka di Jakarta, bahkan tersohor di seluruh nusantara hingga Asia Tenggara, yaitu Pondok Pesantren Darunnajah. Ia menyekolahkan putrinya ke Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta, sekolah calon pemimpin Muhammadiyah untuk putri yang langsung berada dalam naungan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Juga K.H. Abdul Mafahir, ulama asli Betawi di daerah Rawa Belong, Jakarta Barat, yang menyelesaikan kuliah S2-nya (Magister Agama) di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Juga beberapa kawan saya yang putra Betawi asli sekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, sekolah calon pemimpin Muhammadiyah untuk putra yang juga langsung berada dalam naungan PP Muhammadiyah.

Akhir kalam, kiprah Muhammadiyah di Jakarta, di tanah Betawi, selama ini telah memberikan pelajaran yang berharga kepada kita bahwa dakwah dengan kerja nyata dan memberikan manfaat kepada umat akan mengubah rasa anti menjadi simpati; daripada dakwah yang gaduh, seremonial, apalagi diisi dengan perdebatan dan menyerang paham keislaman orang lain. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here