“…Bagi saya (hukuman mati untuk pemerkosaan) masih perlu dipertimbangkan matang-matang. Di luar kontrol saya, disebabkan karena ketegangan selama kurang lebih 1,5 jam di luar kontrol saya muncul itu, ‘soal pemerkosaan sama-sama menikmati’. Dan itu benar-benar di luar kontrol saya lalu muncul pernyataan itu. Itu disebabkan karena saya dicecar beberapa pertanyaan latar belakang disiplin ilmu sehingga saya harus berpikir keras untuk menjawab ini…”
“…Bagi saya (hukuman mati untuk pemerkosaan) masih perlu dipertimbangkan matang-matang. Di luar kontrol saya, disebabkan karena ketegangan selama kurang lebih 1,5 jam di luar kontrol saya muncul itu, ‘soal pemerkosaan sama-sama menikmati’. Dan itu benar-benar di luar kontrol saya lalu muncul pernyataan itu. Itu disebabkan karena saya dicecar beberapa pertanyaan latar belakang disiplin ilmu sehingga saya harus berpikir keras untuk menjawab ini…”
Di atas, merupakan penggalan kalimat klarifikasi sekaligus permintaan ma`af dari calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi soal pernyataannya yang menimbulkan gelombang kritik dari segenap lapisan masyarakat di hadapan insan media massa pada hari Selasa (15/1/2013) di gedung Mahkamah Agung, Jakarta.
M. Daming Sunusi memang sangat berkepentingan melakukan klarifikasi dan permintaan maaf ini dihadapan media massa dengan ekpresi wajah penuh penyesalan dan linangan air mata agar masyarakat dapat memahami alasannya mengeluarkan pernyataan tentang hukuman bagi pemerkosa yang tidak perlu dihukum mati karena pemerkosa dan korbannya sama-sama menikmati yang merupakan jawaban dari pertanyaan anggota DPR, Andi Anzhar, saat fit and proper test calon hakim agung di gedung DPR RI (14/1/2013). Sebab, dengan adanya kasus ini, karirnya sebagai hakim agung betul-betul dipertaruhkan. Namun harapannya itu sepertinya akan sirna karena gelombang protes sudah mewujud penolakan kepadanya untuk menduduki jabatan hakim agung. Penolakan datang dari fraksi-fraksi di DPR, LSM-LSM sampai masyarakat umum. Bahkan di sosial media, penggalangan pendapat untuk menolaknya sangat gencar.
Inilah buah dari ucapan yang dianggap sepele, guyonan warung kopi yang menjadi pelajaran bukan hanya untuk M. Daming Sunusi saja, tetapi kepada kita semua, terutama kepada pejabat publik yang menempati posisi dan tugas terhormat seperti hakim agung. Betapa masyarakat kita masih menjunjung tinggi moralitas dan kepatutan seseorang terutama pejabat publik yang diukur dari kualitas ucapan yang keluar dari lisannya. Lisan memang salah satu sarana yang bisa menjerumuskan orang ke jurang kehancuran. Makanya, jauh-jauh hari, Rasulullah SAW sudah mengingatkan umatnya tentang bahaya lisan dengan sabdanya,” Siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (Muttafaqun alaihi). Di dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi rahimahullâh menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: Adapun sabda Rasulullah saw, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” artinya ketika seseorang ingin berkata-kata hendaklah dilihat apakah ucapannya mengandung kebaikan dan kebenaran sesuai hukum wajib atau sunnah. Jika ya, maka berkatalah. Tapi jika tidak, tahanlah diri. Imam Syafi’i ketika menerangkan makna hadits di atas berucap, “Ketika hendak berkata-kata, berfikirlah terlebih dahulu. Jika ucapan itu tidak mengandung kemudharatan, maka berkatalah. Tapi bila mengandung kemudharatan atau keraguan, maka tahanlah diri.”
Pertanyaannya, sebagai seorang yang berpendidikan tinggi dan pakar di bidang hukum, apakah M. Daming Sunusi tidak menyadari bahwa pernyataannya tersebut akan menjadi petaka bagi dirinya sediri? Jawabannya ada pada kalimat “Di luar kontrol saya”. Jadi, pernyataan itu keluar tanpa ia rencanakan dan tidak bisa dia kontrol di tengah ketegangan yang ia alami pada saat fit and proper test tersebut. Hal ini tentu juga pernah dialami oleh sebagian kita, mengeluarkan sebuah peryataan yang tidak direncanakan yang diistilahkan dengan keceplosan. Selain keceplosan, kita juga mengenal istilah latah. Latah adalah respon reflektif berupa perkataan atau perbuatan yang tidak terkendali yang terjadi ketika seseorang merasa kaget. Latah bukanlah penyakit mental, tapi lebih merupakan kebiasaan yang tertanam di pikiran bawah sadar. Namun masalahnya, sebagian orang yang latah suka mengeluarkan kata-kata kotor. Lalu, siapa biang keladi yang menyebabkan orang keceplosan atau latah sehingga mengeluarkan kata-kata kotor, cabul atau melecehkan?
Di dalam buku Qalbu Linguistic Progamming (QLP) karya KH. Wahfiudin Sakam, SE, MBA, Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC), dijelaskan tentang kalbu sebagai prosesor utama, pusat kecerdasan, yang mempengaruhi panca indera. Maka, perkataan yang keluar dari lisan berasal dari kalbu. Maka, kalbulah bnag keladinya. Jika seseorang sering mengeluarkan perkataan yang buruk, apalagi tidak ia sadari atau tidak terkontrol, maka sumbernya bukan dari otaknya yang kotor, tetapi dari kalbunya yang kotor dan berkarat. Dalil tentang kalbu sebagai pusat kecerdasan salah satunya adalah sabda Rasulullah SAW:,“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah kalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Selain dalil naqli ini, temuan-temuan ilmiah yang mutakhir juga menunjukkan tentang kalbu sebagai pusat kecerdasan manusia tersebut. Seperti apa temuan-temuan ilmiah yang mutaakhir tentang kalbu tersebut? Dan dengan apa qalbu dapat diprogram sehingga dapat membuat panca indera selalu bergerak untuk menghasilkan kebaikan dan keluhuran budi pekerti, seperti lisan yang selalu mengeluarkan perkataan-perkataan yang bermanfaat, baik ketika dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan tanpa disadari (keceplosan)? Anda dapat menemukan jawabannya di buku QLP tersebut. Untuk konsultasi tentang QLP Anda dapat menghubungi JIC di nomor (021)4413069 via Kiki setiap hari dan di jam kerja atau di nomor 081314165949. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC