Di awal tahun 2013 ini, persoalan pendidikan di Indonesia kembali mencuat. Bukan hanya persoalan gugatan penghapusan bahasa daerah dari kurikulum pendidikan, penghapusan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) oleh MK, tetapi yang menarik adalah gugatan Kementerian Agama terhadap salah satu poin Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi pendidikan.
Di awal tahun 2013 ini, persoalan pendidikan di Indonesia kembali mencuat. Bukan hanya persoalan gugatan penghapusan bahasa daerah dari kurikulum pendidikan, penghapusan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) oleh MK, tetapi yang menarik adalah gugatan Kementerian Agama terhadap salah satu poin Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi pendidikan.
Poin yang dimaksud adalah bantuan sosial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk madrasah tidak bersifat wajib atau mengikat. Menurut Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Komaruddin Amin, mayoritas madrasah, baik ibtidaiyah (SD), tsanawiyah (SMP) maupun aliyah (SMA), di Indonesia merupakan lembaga swasta. Maka, dukungan dana dari APBD masih sangat dibutuhkan. Sementara Kementerian Agama selama ini hanya bisa memberikan bantuan pada madrasah swasta berupa buku-buku pelajaran dan mempunyai dana yang terbatas untuk meng-cover semuanya.
Jika bantuan APBD kepada madrasah tidak bersifat wajib atau mengikat, maka pemerintah daerah dapat lepas tangan membantu biaya pendidikan madrasah di daerahnya. Padahal, madrasah di Indonesia merupakan salah satu institusi pendidikan tertua di Indonesia yang telah eksis sebelum negara ini berdiri dan dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Dalam perjalanannya, madrasah bahkan telah banyak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi besar bangsa ini dan sebagian masih aktif berperan, yaitu antara lain H. Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Kahar Muzakir, Kasman Singodimejo, KH.Abdurrahman Wahid (Mantan Presiden RI), Prof.Dr.Mahfud MD (Ketua MK), Prof.DR .Jimly Assiddiqie (Pakar Hukum Tata Negara juga mantan ketua MK), Dahlan Iskan (menteri BUMN), Prof.Dr.Azyumardi Azra (mantan rektor UIN Jakarta dan lain-lain.
Khusus di Betawi, madrasah yang pertama kali berdiri adalah Madrasah ”Jam`iyatul Khair” yang didirikan oleh Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab. Ulama Betawi yang pernah didik di madrasah ini di antaranya adalah Syekh Dr. Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi. Menyusul kemudian Madrasah ”Unwanul Falah”, Kwitang yang didirikan oleh Habib Ali Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911. Murid-murid yang didik di madrasah ini kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti KH. Abdullah Syafi`i, KH. Thohir Rohili, KH. Zayadi Muhadjir, KH. Ismailo Pendurenan, KH. Muhammad Naim Cipete, KH. Fathullah Harun dan Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami. Lalu berdiri pula Madrasah Al-Ihsaniyah, di Salemba Tegalan, yang salah satu muridnya adalah KH. Fathullah Harun. Selain itu, pada awal tahun 1945, KH.Abdul Razaq Ma`mun mendirikan Madrasah Raudhatul Muta’allimin.
Madrasah di tanah Betawi berkembang pesat setelah kemerdekaan yang kebanyakan didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi terkemuka. Seperti Madrasah Asy-Syafi`iyyah yang didirikan oleh KH. Abdullah Syafi`i, Madrasah Ath-Thohiriyyah yang didirikan oleh KH. Thohir Rohili, Madrasah Al-Wathoniyyah yang didirikan oleh KH. Hasbiyallah dan kini memiliki lebih dari 60 cabang, Madrasah Al-Khalidiyah yang didirikan oleh KH. Khalid Damat, Madrasah Manhalun Nasyi`in yang didirikan oleh KH. Abdul Hanan Said, dan lain-lain. Dari madrasah ini lahirlah ulama Betawi, seperti KH. Saifuddin Amsir yang merupakan alumni dari Madrasah Asy-Syafi`iyyah.
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 dan sejumlah peraturan yang mengikutinya, dimana madrasah didefinisikan sebagai “sekolah umum berciri khas agama Islam”, maka masa keemasan madrasah sebagai tempat pendidikan agama untuk calon ustadz dan ulama di Betawi khususnya mulai berakhir. Karena dengan definisi baru itu, madrasah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi kelembagaan, kurikulum, maupun guru. Dari segi kelembagaan, madrasah kini bukan lagi lembaga pendidikan agama, tetapi lembaga pendidikan umum dengan kedudukan sama dengan sekolah-sekolah lainnya ; dari segi kurikulum, madrasah mengajarkan materi yang sama dengan sekolah-sekolah umum yang lain ; dari segi guru, madrasah (diharapkan) memiliki guru dengan keahlian yang sama dengan sekolah-sekolah umum. Dengan persamaan-persamaan tersebut, praktis yang membedakan hanyalah embel-embel “ciri khas Islam” yang melekat di belakang madrasah. Imbasnya, tidak sedikit madrasah swasta yang tutup di Jakarta. Hal ini disebabkan turunnya minat orang tua untuk memasukan anaknya ke madrasah dengan pertimbangan bahwa madrasah telah menjadi institusi pendidikan yang gamang: jika ingin menjadikan anaknya sebagai ulama, lebih baik ke pondok pesantren dan tidak usah ke madrasah atau jika ingin anaknya berhasil dalam bidang umum, lebih baik ke sekolah umum dan tidak usah ke madrasah. Salah satu madrasah Betawi yang telah tutup dan menjadi sekolah umum adalah Madrasah Al-Khalidiyah, Pulo Gadung yang kini menjadi SMP Al-Khalidiyah.
Namun demikian, beberapa madrasah, khususnya yang dimiliki dan atau dikelola oleh orang Betawi, sampai hari ini tetap bertahan. Hal ini dikarenakan, banyak juga orang tua yang ingin anaknya tetap mendapatkan pelajaran agama yang memadai namun tetap memperoleh pelajaran umum yang mumpuni. Mereka sadar bahwa madarasah sekarang memang belum mampu lagi mencetak peserta didik menjadi ustadz yang mumpuni atau bahkan ulama seperti di masa lalu. Bagi mereka , anaknya sudah bisa shalat, memahami fiqih ibadah dan berakhlak baik sudah cukup. Yang penting, setelah lulus, ijazah anak mereka laku untuk melanjutkan kuliah atau diterima untuk melamar kerja. Bukankah tujuan pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan peserta didik, tetapi juga untuk membentuk akhlak mulia? Jika madrasah masih sangat berperan dalam pembentukan akhlak mulia ini, seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, mencabut poin yang merugikan madrasah tersebut. Dan sebagian masyarakat, mari kita dukung dan bantu Kementerian Agama agar gugatannya berhasil. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC