“Kemudian pada hari itu kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat.”
(QS At-Takatsur [102]: 8)
JIC- Ayat ini tentu sering kita baca atau kita dengar. Berkaitan dengan ayat ini, ada sebuah riwayat. Disebutkan bahwa Baginda Rasulullah SAW sering dilanda rasa lapar karena seringnya beliau tidak mendapati makanan di rumahnya. Saat tidak punya makanan di rumahnya, beliau pun berpuasa. Beliau tidak sedih atau galau karena “musibah” rasa lapar itu. Kemudian pada saat ada sahabat yang mengirim kurma kepada beliau, bukannya bergembira, beliau malah kelihatan sedih dan galau seraya mengingatkan kembali ayat di atas.
Begitulah sikap Rasulullah SAW saat mendapatkan nikmat. Mengapa? Ini karena terkait nikmat yang Allah berikan kepada manusia, sekecil apa pun akan dimintai pertanggungjawaban. Nikmat yang dimaksud tentu saja adalah seluruh kelezatan dunia. (Lihat: As-Suyuthi, Durr al-Mantsur, X/337).
Sebaliknya, Allah SWT tidak akan meminta pertanggungjawaban atas musibah yang Dia timpakan kepada manusia. Oleh karena itu, Baginda Rasulullah SAW tidak bersedih karena suatu musibah yang menimpa beliau.
Namun, kita memang jauh berbeda dengan Baginda Rasulullah ﷺ. Kita sering amat sedih saat kenikmatan lepas dari diri kita. Sebaliknya, kita terlalu bergembira saat kenikmatan itu datang menghampiri. Kita lupa jika terhadap kenikmatan itu kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti.
Terkait dengan nikmat pula, kita tentu sering diingatkan dengan sebuah sabda Baginda Rasulullah SAW sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud ra., “Kaki anak Adam tidak akan bergeser di hadapan Rabb-nya pada hari kiamat nanti sebelum ditanya tentang lima perkara, yakni umurnya bagaimana ia lalui, masa mudanya bagaimana ia habiskan, hartanya darimana ia dapatkan dan bagaimana ia belanjakan, serta tentang apa yang telah ia amalkan dari ilmu yang ia miliki.” (HR At-Tirmidzi).
Dalam hadis lain penuturan Ibnu Abbas disebutkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Ada dua nikmat yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR Al-Bukhari).
Sesungguhnya, terkait nikmat kesehatan dan waktu luang, kita pun akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban, sejauh mana kesehatan dan waktu luang itu kita manfaatkan, apakah untuk kebaikan atau keburukan? Apakah untuk memperbanyak amal saleh atau amal salah? Apakah untuk taat atau maksiat?
Bagaimana dengan nikmat harta? Sedikitnya harta kita, ia tetap akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawaban, dari mana dan untuk apa? Apalagi jika harta kita berlimpah, tentu akan lebih banyak lagi pertanyaan Allah SWT kepada kita pada hari akhir kelak.
Itulah mengapa, Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda tentang Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat yang kaya raya. Ini sebagaimana dituturkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra,“Kelak di akhirat, Abdurrahman bin Auf akan masuk surga dalam keadaan merangkak (karena hartanya yang banyak akan merepotkan penghisabannya di hadapan Allah Swt., pen.).” (HR Ahmad dan Ath-Thabarani).
Mendengar sabda Baginda Rasulullah SAW demikian, seketika Abdurrahman bin Auf pun menyedekahkan seluruh hartanya. Ini termasuk emas dan perak yang diangkut dengan 700 ekor unta (berikut seluruh untanya itu), padahal harta itu baru saja tiba di Madinah sebagai hasil sekian lama ia berbisnis di Syam.
Ia melakukan hal itu tidak lain karena sangat khawatir atas lamanya penghisaban Allah SWT atas dirinya di akhirat kelak karena hartanya yang melimpah ruah itu.
Sebetulnya Abdurrahman bin Auf pernah mendengar langsung Rasulullah saw. bersabda kepada dirinya, “Wahai Ibnu Auf, sungguh kamu termasuk kaum yang kaya raya dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu.” (HR Al-Hakim, 3/ 311 dan Al-Hilyah, 1/ 99).
Sejak saat itu, ia banyak menginfakkan hartanya di jalan Allah. Allah SWT pun melipatgandakan balasannya di dunia dan akhirat.
Suatu hari, ia pernah menjual tanah seharga 40.000 dinar (lebih dari Rp80 miliar), lalu membagikan semuanya untuk keluarganya, yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslim.
Suatu hari, ia pun pernah memberikan untuk pasukan kaum muslim sebanyak 500 ekor kuda. Pada hari yang lain, ia menginfakkan sebanyak 1500 ekor unta.
Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar (lebih dari Rp100 miliar) di jalan Allah. Ia juga mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta Perang Badar mendapatkan 400 dinar (lebih dari Rp800 juta) di jalan Allah. Masyaallah!
Penulis: Ustaz Arief B. Iskandar