PERNIKAHAN ITU SEAGAMA

pernikahan-itu-seagama

وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”

(Al-Baqarah (2): 221)

JIC– Menurut Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi, ayat ini turun berkenaan dengan Ibnu Abi Martsad al-Ghanawiy. Suatu saat ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anaq, seorang Wanita musyrik yang cantik jelita, maka turunlah ayat ini.

Dalam Riwayat lain, Rasulullah saw mengutus Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawiy ke Mekkah untuk membawa pergi beberapa orang muslim yang tertahan di sana. Pada masa jahiliyah dulu ia sudah jatuh hati kepada seorang perempuan bernama ‘Anaq. Wanita ini menemui Martsad lalu berkata, Maukah kau berduaan denganku? Martsad menjawab, Sialan kamu! Islam telah menghalangi hubungan di antara kita. Wanita itu berkata, Kalau begitu, bersediakah kau mengawiniku? Ia menjawab, Ya, tapi aku pulang dulu untuk meminta izin dari Rasulullah saw. Setelah ia mengutarakan keinginannya, turunlah ayat ini.

Al-Wahidi meriwayatkan dari jalur as-Suddi dari Abu Malik dari Ibnu Abbas; Ayat ini turun sehubungan dengan Abdullah bin Rawahah. Dulu ia punya seorang budak wanita berkulit hitam. Suatu saat ia marah dan menempeleng budak itu. Setelah reda amarahnya ia merasa cemas, maka ia pun menghadap Rasulullah saw dan melaporkan kejadian itu. Ia pun berkata, Sungguh saya akan memerdekakannya lalu menikahinya.

Hal itu benar-benar diwujudkannya. Sebagian orang lantas mencemoohnya. Hmm, ia kawin dengan budak perempuan? Cela mereka. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Islam sangat memperhatikan persoalan keluarga karena tatanan masyarakat dalam Islam adalah tatanan keluarga yang merupakan tatanan Allah untuk manusia, yang memperhatikan semua kekhususan fitrah manusia dan kebutuhan-kebutuhannya serta unsur-unsur penopangnya.

Aturan keluarga dalam Islam bersumber dari mata air fitrah dan dasar penciptaan, serta dasar pokok penciptaan makhluk dan semua makhluk hidup.

Keluarga merupakan tempat berlindung alami yang berfungsi melindungi anak dan memeliharanya, yaitu memelihara pertumbuhan jasad, pikiran, dan jiwanya. Di bawah naungannyalah didapatkan rasa cinta, kasih sayang, dan jaminan. Keluarganyalah yang mencetak anak dengan cetakan yang akan selalu melekat padanya selama hidup.

Nikah merupakan ikatan yang paling dalam, kuat dan kekal, yang menghubungkan antara dua anak manusia yang berlainan jenis, dan meliputi respons-respons yang paling luas yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Karena itu harus terdapat kesatuan hati, harus bertemu dalam suatu ikatan yang tidak mudah terlepas.

Supaya hati bisa bersatu maka harus satu pula apa yang menjadi kepercayaannya dan tujuan menghadapnya. Akidah merupakan sesuatu yang paling dalam dan menyeluruh dalam membangun jiwa, mempengaruhinya, membentuk perasaannya, membatasi respons-responsnya dan menentukan jalannya dalam seluruh aspek kehidupannya.

Jalan laki-laki dan wanita musyrikin adalah ke neraka, seruan mereka juga ke neraka. Sedangkan, jalan laki-laki mukmin dan wanita mukminah adalah jalan Allah, jalan yang menuju surga dan ampunan dengan izin Allah. Alangkah jauhnya perbedaan antara ajakan mereka dan ajakan Allah.

Sebab diharamkannya pernikahan antara lelaki muslim dengan wanita musyrik, serta antara wanita muslim dengan lelaki kafir adalah; Pertama, Orang-orang musyrik itu mengajak kepada kekafiran dan membawa orang lain untuk melakukan hal-hal buruk yang berujung di neraka. Kedua, mereka tidak punya agama yang benar yang membimbing mereka, juga tidak punya kitab yang menunjukkan mereka kepadaa kebenaran. Ketiga, adanya pertentangan tabiat antara hati yang berisi cahaya dan hati yang berisi kegelapan dan kesesatan.

Ada beberapa ayat lain yang menjelaskan tentang pernikahan seagama, dan mengharamkan pernikahan beda agama.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (Al-Maidah (5):5)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir). Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Mumtahanah (60): 10)

Hadis Rasulullah saw: “Wanita itu boleh dinikahi karena empat hal; Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (Jika tidak) akan binasalah kedua tanganmu” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Kaidah fikih; Mencegah kerusakan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan.

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang Wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Pasal 8 (f), bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Fatwa MUI nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Tentang Pernikahan Beda Agama

1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan Wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah

Keputusan MUNAS MUI VII, 19-22 Jumadil Akhir 1426H bertepatan 26-29 Juli 2005, berdasarkan pertimbangan;

1. Disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama
2. Perkawinan beda agama tak hanya mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga kerap mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat
3. Munculnya pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama di masyarakat dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan
4. Dalam mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama;

1. Pergaulan hidup sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat
2. Minimnya Pendidikan agama
3. Latar belakang orangtua yang berbeda agama
4. Kebebasan memilih pasangan hidup
5. Meningkatnya hubungan sosial melalui internet di era digital

Semoga para orangtua menyadari pentingnya kehadiran mereka di tengah-tengah pergaulan dan interaksi putra-putrinya di era digital ini dan Allah ta’ala memberikan perlindungan agar dijauhkan dari pasangan hidup yang berbeda akidah. Aamiin

*Tulisan adalah materi Ayat-Ayat Pendidikan seri ke-21 yang ditulis oleh Ustaz Arief Rahman Hakim, M.Ag (Kepala Sub Divisi Pendidikan dan Pelatihan PPPIJ)

Jakarta Islamic Centre

Read Previous

MUI AJAK ULURKAN TANGAN UNTUK KORBAN GEMPA TURKI

Read Next

MENJADI MITRA KEBAIKAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Konsultasi Online JIC
Kirimkan pertanyaan kepada kami...