RISYWAH DI BALIK PALU: PERSPEKTIF SYARIAH DAN SOLUSI UNTUK MEMBERANTAS SUAP DI DUNIA HUKUM

0
28

oleh:

Prof. Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA.

(Guru Besar Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah)

Pendahuluan

Fenomena suap (risywah) yang melibatkan seorang hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), yang diduga menerima suap hingga Rp 60 miliar, memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas sistem peradilan kita. Suap yang melibatkan banyak pihak ini, tidak hanya merusak nama baik lembaga peradilan, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap keadilan hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menegakkan kebenaran. Di dalam Islam, praktik suap merupakan dosa besar yang harus diberantas, karena ia bertentangan dengan prinsip dasar amanah (kepercayaan) dan pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat. Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga integritas dan kejujuran dalam semua aspek kehidupan, terutama dalam menjalankan amanah sebagai pejabat publik.

Tinjauan Syariah

Islam menempatkan amanah sebagai salah satu nilai utama yang harus dijaga dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks suap, baik sebagai pemberi maupun penerima, tindakan ini jelas melanggar prinsip amanah yang diamanatkan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 188:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ ۝١٨٨

Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)​

Ayat ini secara jelas melarang praktik risywah, yang tidak hanya merusak keadilan tetapi juga menodai amanah yang diberikan kepada para hakim dan pejabat. Dalam perspektif Islam, hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan, dan ketika keadilan dapat dibeli dengan suap, maka tatanan sosial akan hancur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat pemberi dan penerima suap, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap di dalam hukum.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh al-Albani dan dinilai hasan oleh syaikh Syu’aib al-Arnauth)

Hal ini menunjukkan betapa besar dampak negatif dari praktik suap terhadap tatanan masyarakat dan sistem hukum. Selain itu, suap juga termasuk dalam kategori dosa besar yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam azab di akhirat. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa setiap pejabat yang diberi amanah untuk memimpin atau mengadili harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.​

Langkah Solutif dan Preventif

Untuk mengatasi permasalahan risywah, kita harus fokus pada langkah preventif dan solutif yang bersifat menyeluruh, mengingat dampaknya yang sangat luas terhadap keadilan dan tatanan masyarakat.

Pertama, Menanamkan Nilai Amanah Sejak Dini

Pendidikan tentang amanah harus dimulai sejak dini, baik di keluarga maupun di lembaga pendidikan. Orang tua sebagai pendidik pertama memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak-anak mereka. Menanamkan nilai kejujuran, keadilan, dan integritas harus menjadi prioritas dalam keluarga. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini mengingatkan kita bahwa setiap orang yang diberikan amanah harus menjaga kejujuran dan menanggung pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat.

Kedua, Peran Keluarga dalam Mencegah Suap

Keluarga, khususnya istri dan anak-anak, berperan penting dalam memberikan nasehat kepada anggota keluarganya yang bekerja dalam bidang yang rawan korupsi, seperti aparat hukum. Seorang istri harus mengingatkan suaminya untuk selalu memilih pekerjaan yang halal dan tidak tergoda untuk menerima imbalan haram. Dalam Islam, tugas keluarga adalah menjaga anggota keluarganya agar tetap berada pada jalan yang benar, dan tidak tergoda oleh dunia yang sementara. Dalam hal ini, nasehat keluarga sangat berperan untuk menjaga karakter dan integritas seorang pejabat publik.

Ketiga, Reformasi Sistem Pengawasan Hukum

Pemerintah dan lembaga peradilan harus melakukan reformasi total terhadap sistem pengawasan di bidang peradilan. Pengawasan yang lebih ketat, baik internal maupun eksternal, sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya praktik suap. Sistem whistleblower yang dilindungi oleh hukum dapat menjadi alat yang efektif untuk menindak praktik-praktik korupsi di dalam lembaga peradilan. Selain itu, audit secara berkala terhadap proses-proses hukum yang berlangsung di pengadilan juga penting untuk memastikan transparansi dan mencegah penyalahgunaan kewenangan.

Keempat, Penerapan Hukuman yang Tegas

Dalam Islam, pelaku risywah dapat dikenai hukuman ta’zir (hukuman yang diberikan oleh penguasa untuk mencegah kerusakan di masyarakat), yang bisa berupa denda, penjara, atau hukuman lainnya yang dirasa dapat memberikan efek jera. Negara harus menegakkan hukuman yang tegas terhadap pemberi, penerima, dan perantara suap. Hukuman yang berat ini tidak hanya untuk memberi efek jera kepada pelaku, tetapi juga untuk mencegah orang lain terjerumus dalam praktik yang sama. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan Islam, yang mengutamakan tegaknya hukum untuk kepentingan umat.

Kelima, Membangun Kesadaran Hukum di Masyarakat

Masyarakat harus diberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga integritas dan menegakkan keadilan. Pendidikan hukum yang merata dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan adalah langkah penting untuk mencegah suap. Masyarakat harus berani melapor jika melihat adanya praktik suap atau kecurangan di lembaga-lembaga publik.

Penutup

Kasus suap yang terjadi di PN Jakarta Selatan ini menjadi peringatan bagi kita semua mengenai pentingnya menjaga amanah dalam setiap tindakan kita. Dalam Islam, risywah adalah dosa besar yang bukan hanya merusak sistem hukum, tetapi juga mendatangkan kebinasaan bagi pelakunya di akhirat. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk mencegah dan memberantas praktik ini. Dengan menegakkan nilai-nilai amanah dan kejujuran, serta menerapkan langkah-langkah preventif dan solutif yang tepat, kita dapat mewujudkan sebuah sistem hukum yang bersih, adil, dan dapat dipercaya. Sebagaimana diingatkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Jika kita mencari kemuliaan selain dengan Islam, maka Allah akan menurunkan kehinaan kepada kita.” Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama berjuang untuk menjaga kemuliaan sistem hukum kita, demi kebaikan dunia dan akhirat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here