Di bulan haji (dzulhijjah) ini, di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Betawi, upacara sedekah bumi masih diadakan oleh sebagaian kecil orang Betawi walau Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mereka.
Sedekah bumi di Betawi merupakan tradisi warisan pra Islam. Menurut Ridwan Saidi, sebelum Islam datang, orang Betawi mengadakan upacara sedekah bumi ditujukan untuk Dewi Sri yang dianggap memberikan kesuburan bagi sawah mereka dan merupakan salah satu dari tiga alus unggulan, dua lainnya adalah Ratu Kidul untuk di laut dan Raksasa untuk di hutan. Hanya dua alus saja yang mendapatkan sesajen atau diupacarakan, yaitu Dewi Sri berupa sedekah bumi dan Ratu Kidul berupa nyadran (menghanyutkan sesajen dan kepala kerbau ke laut).
Di bulan haji (dzulhijjah) ini, di beberapa tempat di wilayah kebudayaan Betawi, upacara sedekah bumi masih diadakan oleh sebagaian kecil orang Betawi walau Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mereka.
Sedekah bumi di Betawi merupakan tradisi warisan pra Islam. Menurut Ridwan Saidi, sebelum Islam datang, orang Betawi mengadakan upacara sedekah bumi ditujukan untuk Dewi Sri yang dianggap memberikan kesuburan bagi sawah mereka dan merupakan salah satu dari tiga alus unggulan, dua lainnya adalah Ratu Kidul untuk di laut dan Raksasa untuk di hutan. Hanya dua alus saja yang mendapatkan sesajen atau diupacarakan, yaitu Dewi Sri berupa sedekah bumi dan Ratu Kidul berupa nyadran (menghanyutkan sesajen dan kepala kerbau ke laut). Pada awal keyakinan ini, orang Betawi belum mengenal konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan muncul ketika manusia Betawi menyadari bahwa kehidupan itu bukan di sawah, di hutan dan di laut saja. Kehidupan ada pada pengharapan tentang hidup dan mati. Disinilah muncul kesadaran orang Betawi tentang Tuhan yang disebut dengan Yang Kuasa. Namun, orang Betawi pra Islam ini tetap menghormati ketiga alus unggulan sebagai local god, “Tuhan” dengan kekuasaan terbatas. Mereka tidak menyembah local god, melainkan menghormati. Kepercayaan ini belum disebut sebagai monoteisme, tetapi monolotry, yaitu mempercayai satu Tuhan yang disembah, tetapi mentoleransi adanya local god yang dihormati.
Setelah Islam datang dan menjadi agama yang dianut oleh orang Betawi sampai hari ini, tradisi sedekah bumi masih dipertahankan dan diselenggarakan walau hanya di beberapa tempat, begitu pula dengan nyadran. Juga karena proses akulturasi Islam, upacara sedekah bumi dan nyadran bukan lagi ditujukan kepada Dewi Sri atau Ratu Kidul, tetapi ditujukan kepada Allah swt., Yang Kuasa, dengan mantra-mantra bahasa Kawi yang dicampur dengan bacaan dua kalimat syahadat.
Khusus mengenai sedekah bumi, menurut Yahya Andi Saputra, tata caranya adalah dengan menempatkan empat kepala kerbau di empat penjuru mata angin di perbatasan wilayah dan satu di tengah atau pusat (pancer) yang disebut dengan ajaran Papat Kalima Pancer. Sekarang ini karena harga kerbau mahal, maka kepala kerbau diganti dengan kepala kambing. Sedakah bumi diadakan pada bulan haji dan bulan maulid. Orang Betawi yang masih mengadakan sedekah bumi di bulan haji sampai sekarang ini, yang disebut mereka Hari Raya Agung ada di Kampung Setu, Kampung Kranggan, Kampung Pondok Rangon, Kampung Pasar Jum`at, Kampung Jagakarsa, Kampung Cipedak, Kampung Kupu dan Kampung Kuripan. Sedangkan tempat dan waktu diadakannya upacara sedekah bumi pada bulan haji ini adalah di Kramat Ganceng dan Kramat Bambu Ampel pada hari Jum`at ini, 11 Nopember 2011.
Tradisi sedekah bumi dan tradisi lainnya memang menjadi perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang ingin melestarikanya sebagai warisan asli (heritage) dari Jakarta di tengah gencarnya dunia pariwisata dalam menampilkan tradisi asli. Namun untuk melestarikan tradisi seperti sedekah bumi ini di Betawi, perlu banyak mendengar masukan dari para ulama yang merupakan pemimpin, tokoh informal masyarakat Betawi. Jangan sampai pelestarian tradisi tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mencapai titik temu antara pelestarian tradisi dengan ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat Betawi, maka Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta berencana akan mengadakan Kongres Kebudayaan Betawi dari tanggal 5 s/d 7 Desember 2011 yang telah diawali dengan serangkaian FGD terkait sebelas aspek kebudayaan, yaitu film, kesenian, bahasa, sastra, kepurbakalaan, permuseuman, sejarah, tradisi, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (agama), Naskah, dan Kepustakaan. Salah satu materi tema yang akan diangkat pada kongres tersebut berjudul Islam di Betawi dan Dukungannya terhadap Pelestarian Kebudayaan yang diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang merupakan titik temu antara ajaran Islam dan pelestarian kebudayaan, termasuk di dalamnya tradisi seperti sedekah bumi, sehingga pelestarian kebudayaan mendapat dukungan penuh dari ulama dan umat Islam di Betawi, Jakarta untuk Indonesia yang bermartabat dan beradab. Guna mendapatkan masukan-masukan yang berharga untuk titik temu Islam di Betawi dan Pelestarian Kebudayaan pada kongres tersebut, masyarakat dapat berpartisipasi dengan menyampaikan gagasannya terakhirtanggal 3 Desember 2011 melalui Jakarta Islamic Centre (JIC) lengkap dengan data pribadi dan nomor telepon yang bisa dihubungi di e-mail info@islamic-center.or.id, Fax. 021-4483 5349 atau melalui SMS ke 081314165949 dan bagi pengirim gagasan akan diberikan hadiah yang menarik.***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC