SEJARAH HADITS PADA MASA TABI’IN

0
11005

JIC – Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran. Istilah hadits biasanya mengacu pada segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., berupa sabda, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya (fisik ataupun psikis), baik yang terjadi sebelum maupun setelah kenabiannya.

Hadits terkadang dipertukarkan dengan istilah sunnah. Sebagian ulama hadits menganggap kedua istilah tersebut adalah sinonim (mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada yang membedakan antara keduanya.

Sejarah dan perkembangan hadits dapat dilihat dari dua aspek penting, yaitu periwayatan dan pen-dewan-annya. Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab himpunan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini.

Terkait dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadits, para ulama berbeda dalam menyusunnya. M.M.Azamiy dan Ajjaj al-khatib membaginya dalam dua periode, dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam lima periode, sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh periode.

Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadits, dimana beliau telah membina umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut merupakan kurun waktu turunnya wahyu (Alquran), berbarengan dengan itu keluar pula hadits.

Lahirnya hadits pada masa Nabi adalah adanya interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-ayat Alquran kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka penyampaian risalah. Juga karena adanya berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan menghafal apa yang telah diterimanya dari Nabi SAW.

Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kalangan sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian Alquran agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga untuk menjaga keorisinalitas hadits tersebut.

Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di era sahabat. Karena Alquran ketika itu telah disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh penjuru dunia Islam.

Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai berkembang penghimpunan hadits (al-jam’u wa al-tadwin), meskipun masih ada percampuran antara hadits Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di era tabi’ al-tabi’in hadits telah dibukukan, bahkan era ini menjadi masa kejayaan kodifikasi hadits. Kodifikasi dilakukan berdasar perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadits terbukukan dalam kitab hadits.

Setelah era tabi’ al-tabi’in, yaitu masa abad II, III, IV-VII dan seterusnya yang terjadi pada hadits adalah penghimpunan dan penerbitan secara sistematik (al-jam’u wa attartib wa at-tanzhim).

Hadits pada masa dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yakni masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan seperti ini menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.

Rasulullah SAW juga memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan menyebarluaskan hadits-hadits. Nabi sendiri tidak hanya memerintahkan, namun beliau juga banyak memberi spirit melalui doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.

Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam menyampaikan hadis sangat fleksibel, terkadang hadits disampaikan ketika Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri.

Selain itu, ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat. Pertama, melalui majlis ilmu, yakni temat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para jamaah.

Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika hadits yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadits tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri.

Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fathul Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji.

Isinya terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan Hadits.

Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadits tidak selalu sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.

Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama bersama Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.

Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana Alquran, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan menulis hadits dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, kecuali Alquran, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain Alquran, maka hendaklah ia menghapuskannya.”

Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis akan bercampur baur dengan catatan ayat-ayat Alquran.

Meskipun demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa Rasulullah, ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadits, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi nama al-Sahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya.19 Begitu juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki catatan hadits.

Hadis pada Masa Tabi’i al-Tabi’in

Masa tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya masa tabi’in, tabi’in terakhir adalah tabi’in yang bertemu dengan sahabat yang meninggal paling akhir. Cara periwayatan hadits pada masa tabi’i al-tabi’in adalah bi lafdzi, yaitu dengan lafaz. Karena kodifikasi hadits mulai dilakukan di akhir masa tabi’in.

Kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode yang sistematis, yaitu dengan mengelompokkan hadits-hadits yang ada sesuai dengan bidang bahasan, walaupun dalam penyusunannya masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan tabi’in.

Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Barulah pada awal abad kedua hijriah, dalam kodifikasinya, hadits telah dipisahkan dari qaul sahabat dan tabi’in.

Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem penerimaan dan periwayatan hadis dengan sistem isnad. Maraknya pemalsuan hadits yang terjadi di akhir masa tabi’in yang terus berlanjut sampai masa sesudahnya menjadikan para ulama untuk meneliti keontetikan hadits, cara yang ditempuh para ulama yaitu dengan meneliti perawi-perawinya. Dari penelitian tersebut memunculkan istilah isnad sebagaimana yang dikenal hingga saat ini.

Menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan pada masa tabi’in sering menyampaikan sebuah hadits dengan tanpa menyebut sahabat yang meriwayatkannya. Wallahu’alam Bissawab.

Sumber : gomuslim.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here