SYAIKH QURO ULAMA PERTAMA DI TANAH BETAWI

0
695
syaikh-quro-ulama-pertama-di-tanah-betawi

JIC– Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dikatakan bahwa ulama Betawi yang pertama yang dapat dilacak jejaknya adalah Syaikh Quro, Karawang.  Alasan Syaikh Quro dijadikan sebagai ulama Betawi pertama oleh Ridwan Saidi karena kiprahnya dalam mengislamkan orang-orang Betawi yang berada di Karawang, walau Syaikh Quro berasal dari Campa (Kamboja) bahkan ia memiliki murid yang kemudian menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kalapa (Jakarta). Karawang sendiri, menurut Ridwan Saidi, termasuk dalam wilayah kebudayaan Betawi.

Diterimanya Syaikh Quro oleh orang Betawi di Karawang karena ia adalah orang Campa. Menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki kerajaan. Mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat sejak kurun sebelum Masehi. Baik orang Campa maupun orang Betawi sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Maka transformasi nilai-nilai Islam ke aorta komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan.  Kisah orang Campa yang menyiarkan Islam di Karawang tidak hanya  berhenti di Syaikh Quro. Di Batu Jaya, Karawang terdapat sebuah makam yang dihormati berlokasi di tepi kali Citarum. Makam itu adalah makam Guru Toran yang berdarah Campa.

Nama lain Syaikh Quro adalah Syaikh Qurotul`ain, Syaikh Mursyahadatillah atau Syaikh Hasanuddin. Ia dipanggil Syaikh Quro karena ia ahli ngaji atau qira`at yang sangat merdu.  Tidak diketahui mengapa ia dipanggil Syaikh Qurotul`ain atau Syaikh Mursyahadatillah. Sedangkan nama Syaikh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya.

Syaikh Quro adalah putra dari salah seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syaikh Yusuf Siddik yang menyebarkan agama Islam di Campa. Syaikh Yusuf Siddik masih keturunan Sayidina Husain bin Sayyidina Ali Karamallaahu wajhah. Tidak diketahui dengan pasti tentang riwayat masa kecil dari Syaikh Quro. Sumber tertulis hanya menjelaskan bahwa pada tahun 1409 masehi, setelah berdakwah di Campa dan Malaka, Syaikh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

Kedatangan Syaikh Quro disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan dari Prabu Wastu Kencana. Demikian juga masyarakat di daerah tersebut yang sangat tertartik oleh sifat, sikap dan ajaran yang disampaikan oleh Syaikh Quro, sehingga mereka banyak yang menyatakan memeluk agama Islam.

Kegiatan dakwah yang dilakukan Syaikh Quro ini ternyata sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang ketika itu dijabat oleh Prabu Anggalarang. Syaikh Quro diminta oleh Raja Pajajaran ini untuk menghentikan kegiatan dakwahnya.

Permintaan ini dipatuhi oleh Syaikh Quro. Tidak lama kemudian, Syaikh Quro mohon pamit, dan Ki Gedeng Tapa sendiri merasa prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama ulama basar itu. Sebab, ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam, karenanya ketika Syaikh Quro kembali ke Campa, putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, dititipkan ke Syaikh Quro untuk didik agama Islam di Campa.

Beberapa tahun kemudian, Syaikh Quro kembali ke wilayah Pajajaran. Ia kembali bersama pengiringnya menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang, Syaikh Hasanuddin beserta para penggiringnya turun di Karawang.

Di antara anggota pengiringnya tersebut adalah Nyi Mas Subang Larang, Syaikh Abdul Rahman, Syaikh Maulana Madzkur dan Syaikh Abdillah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Mudofah. Karena perilaku yang simpatik, pada tahun 1418, Syaikh Quro dan pengiringnya diberikan izin oleh aparat setempat untuk mendirikan Musholla sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal, yang menjadi pondok pesantren di pertama di Karawang bahkan mungkin di Indonesia. Musholla ini juga menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang sekarang ini.

Berita kedatangan dan kegiatan Syaikh Quro di Karawang terdengar oleh Prabu Anggalarang yang kemudian mengutus utusannya menutup pesantren Syaikh Quro. Utusan yang datang itu dipimpin oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di pesantren Syaikh Quro, Raden Pamanah Rasa tertarik oleh alunan suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur`an yang dikumandangankan oleh Nyi Mas Subang Larang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syaikh Quro. Selain itu, Raden Pamanah Rasa jatuh hati kepada Nyi Mas Subang Larang. Akhirnya, keduanya menikah setelah Raden Pamanah Rasa masuk Islam. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan tiga orang putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raja Sangara. Raja Sangara terkenal dengan nama Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat) penyebar agama Islam di tanah Sunda.  Bahkan menurut Ridwan Saidi, Kian Santang juga penyebar agama Islam di tanah Betawi, khususnya di daerah Karawang.

Menjelang akhir hayatnya, Syaikh Quro melakukan ujlah atau menyepi diri dari pesantrennya ke salah satu Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa yang sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan Lemahabang yang masih berada di wilayah Karawang. Ada keterangan yang menarik mengenai letak kuburan Syaikh Quro. Menurut pengakuan salah satu imam Masjid Agung Karawang. Syaikh Quro wafat dan dikuburkan persis di depan Masjid Agung Karawang kini yang kini ditutupi oleh tembok. Hal ini dilakukan agar orang tidak ramai menziarahi kuburannya dan mengkultuskannya.   Namun, di buku Ikhthisar Sejarah Singkat Syaikh Qurotul`ain dikatakan bahwa makam Syaikh Quro berada di Pulobata sehingga banyak orang yang datang menziarahinya untuk berbagai keperluan. Dari pengakuan E. Sutisna (keturunan dari Raden Somaredja yang menemukan malam tersebut)  makam Syaikh Quro yang berada di Pulobata adalah ”maqam” atau petilasan, bukan kuburannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berada di Masjid Agung Karawang adalah kuburan dari Syaikh Quro, bukan yang berada di Pulobata.

 

*Sumber: Buku “GENEALOGI INTELEKTUAL ULAMA BETAWI” (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21) yang diterbitkan oleh Divisi Komunikasi dan Penyiaran Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − three =