Tradisi terekat masyarakat Jakarta sangat bervariasi. Di Jakarta terdapat banyak komunitas agama yang masing-masing memiliki ajaran tarekat yang beragam. Tetapi, mayoritasnya menganut tarekat Naqsyabandiyah atau tarekat Qodariyah. Masing-masing memiliki bangunan filosofinya tersendiri. Tarekat Naqsyabandiyah misalnya, lebih memilih dzikir khofi (membaca bacaan-bacaan tertentu di dalam hati). Sementara pada tarekat Qodariyah, berdizikir dengan suara keras (jahr).
Tarekat dilakukan karena ia mempunyai pengertian sebagai jalan spiritual menuju Tuhan.[1] Salah satu tradisi tarekat adalah berdzikir sebanyak-banyaknya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, sebetulnya mediasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sangat banyak. Tidak hanya dengan cara berdzikir, dapat juga melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang melahirkan kebaikan. Bekerja dengan ikhlas dan jujur sebagai pemimpin negara, anggota DPR, guru, buruh pabrik, atau pun cleaning service, merupakan mediasi juga dalam mengembangkan nilai-niliai spiritual.
Wacana tarekat selama ini hanya fokus pada pemahaman teologi yang sempit dan cenderung melupakan sesuatu yang kecil, namun selalu hadir sekaligus penting dalam identitas spiritual seseorang. Sesuatu yang dilupakan itu adalah melakukan pekerjaan dengan ikhlas demi memberi kenyamanan pada masyarakat.
Dalam konteks itu, jika diperhatikan dalam suasana kota Jakarta, siapa yang rela membersihkan lantai di mal-mal Jakarta? Siapa yang ikhlas menyapu jalanan kota Jakarta? Jawabannya pasti pekerja cleaning service. Mereka ikhlas dalam bekerja demi memberikan kenyamanan bagi umat Jakarta. Pekerjaan ini merupakan mediasi atau sarana juga dalam mendekatkan diri kepada Realitas Tunggal.
Salah satu inti dari ajaran terekat adalah menebarkan cinta terhadap sesama manusia.[2] Tanpa disadari, pekerja cleaning service juga ikut menebarkan cinta. Karena ia rela mengotorkan dirinya dengan debu Jakarta, ia rela membersihkan sesuatu yang sudah pasti akan dikotorkan kembali setelah dibersihkan dalam sesaat. Itu semua semata-mata demi terciptanya kenyamanan kota Jakarta. Konsep cinta yang selama ini diajarkan pada setiap komunitas tarekat, tanpa disadari sudah dikuasai dan diimplementasikan langsung oleh para pekerja cleaning service.
Dalam ajaran tarekat, memahami pentingnya cinta merupakan bangunan filosofis yang amat penting sebelum berbagai agenda lainnya diperbincangkan. Wujud konkret dari cinta adalah terbangunnya persahabatan sejati, yakni sebuah keikhlasan untuk memandang orang lain lebih pantas dihormati dan jauh dari sifat menyombongkan diri sendiri.[3] Dalam hal ini, pekerja cleaning service jauh dari sifat sombong dan angkuh. Berbeda halnya dengan pejabat negara yang angkuh, sombong, dan tidak memperhatikan rakyatnya. Seharusnya, pejabat negara itu mengikuti atau mencontoh sikap baik yang selalu ditampilkan dan dihadirkan oleh para pekerja cleaning service. Cinta yang bersemayam pada hati para pekerja cleaning service menutup kemungkinan munculnya rasa sombong dan rasa tidak peduli terhadap sesama manusia.
Para pekerja cleaning service kota Jakarta rela bekerja demi memberikan kenyamanan rakyat Jakarta. Keikhlasan mereka dalam bekerja nampaknya dibangun oleh suatu pondasi teologis, yaitu memandang rakyat Jakarta sebagai makhluk indah ciptaan Tuhan yang harus dihormati. Pondasi teologis ini selaras dengan pandangan kaum sufi, yaitu mereka melihat orang lain dengan cinta sebagai sebuah kesatuan makhluk yang bernaung dibawah kasih sayang Tuhan. Landasan cinta merupakan titik berpijak bagi mereka untuk melihat orang lain. Dalam pandangan kaum sufi, semua manusia adalah indah.[4] Keindahan dalam pandangan itulah yang membimbing kaum sufi atau para pekerja cleaning service untuk selalu menghormati dan menghargai orang lain.
Tidak hanya para pejabat negara yang harus mengikuti sikap para pekerja cleaning service, melainkan mereka yang suka melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama juga perlu mengikuti bangunan filosofis para pekerja cleaning service, yaitu berpijak pada landasan cinta sebagai pondasi dasar kemanusiaan.
Sebagai kompetisi tarekat, pekerjan cleaning service layak disebut sebagai tarekat cleaning service. Karena secara tidak sadar, para pekerja cleaning service telah mengimplementasikan konsep cinta yang selama ini diajarkan oleh komunitas tarekat atau oleh kaum sufi.[5] Dan konsep cinta ini amat penting sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak. Dengan kata lain, implementasi konsep cinta para pekerja cleaning service sebagai proses transendensi menuju Tuhan.
Tarekat cleaning service merupakan abstraksi dari fenomena pekerjaan cleaning service. Tarekat cleaning service mempunyai kesamaan dengan wacana tarekat-tarekat lainnya, yaitu sama-sama hadir sebagai mediasi atau perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Religiusitas para pekerja cleaning service sejatinya perlu diikuti oleh rakyat Jakarta agar menjadi kota religius seperti yang dikatakan oleh Gubernur DKI Jakarta Jokowi pada acara Jakarta Night Religius Festival (JNRF) pada malam takbiran Hari Raya Idul Adha 1434 Hijriah beberapa minggu lalu. Gubenrur Jokowi dalam kesempatan itu mengatakan, “Jakarta ini religiusnya harus muncul.”[6]
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa para pekerja cleaning service senantiasa menyebarkan cinta dalam pekerjaan yang dilakukannya. Bangunan cinta membuatnya selalu menghormati orang lain. Mereka nampaknya, sama seperti kaum sufi, yaitu memandang orang lain sebagai proses tajalli (pengungkapan diri) Tuhan. Proses tajalli adalah proses gerak yang berawal dari gerak Yang Mutlak dengan pancaran kasih-Nya, sehingga terciptalah dunia ini beserta isinya. Perputaran gerak kosmis ini senantiasa dilandasi oleh cinta-Nya, sehingga setiap elemen yang bergerak, termasuk manusia dimuati pancaran cahaya-Nya.[7] Untuk itu, mereka para pekerja cleaning service atau para sufi senantiasa menghormati dan menghargai orang lain. Karena menghormati orang lain berarti sama dengan menghormati Tuhan.
Keikhlasan bekerja hanya dapat diperoleh melalui cinta. Bangunan cinta para pekerja cleaning service itu merupakan penghubung atau pengikat antar dirinya dengan Tuhan. Hubungan vertikal semacam ini mempunyai kesamaan mendasar dengan para sufi. Cinta menurut para sufi merupakan cara menuju Allah. Cinta menjelaskan sekaligus mengarahkan para sufi untuk mencapai satu tujuan, yaitu Tuhan. Cinta mistikal merupakan kecenderungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih sempurna terhadap dirinya, baik keindahan, kebenaran, maupun kebaikan yang dikandungnya.[8]
Allah meminta kita untuk menggunakan tubuh kita dalam ibadah kepada-Nya dan melayani semua ciptaan-Nya melalu sedekah dan amal baik. Para pekerja cleaning service senantiasa melakukan itu. Hanya orang-orang yang rela dan ikhlas saja yang ingin membersihkan lantai-lantai mal Jakarta dan menyapu debu-debu Jakarta, demi terciptanya suasana bersih dan nyaman kota Jakarta. Secara esoteris (batin) pekerjaan mereka patut diapresiasi dan dicontoh oleh semua kalangan, khususnya para pejabat negara.
[1] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 37
[2] Konsep cinta ini selalu diajarkan dalam wacana tarekat atau wacana tasawuf. Sebab, bangunan dasar tentang cinta dihadirkan oleh tokoh-tokoh sufi, diantaranya, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi, Imam Ghazali, Ibn al-Faraidh, dan lain-lain.
[3] Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, Titik Temu: Jurrnal Dialog Peradaban, Volume 2, No. 2, Januari-Juni, 2010, h. 145
[4] Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, Titik Temu: Jurrnal Dialog Peradaban, h. 146
[5] Ibn al-Faraidh (w. 632/1234) menempatkan cinta sebagai puncak pengalaman rohani. Ketika orang telah sampai pada pengalaman ini, maka ia akan merasakan keindahan dan kesyahduan yang tiada taranya. Menurut Ibn al-Faraidh, pengalaman demikianlah yang memberi makna kehidupan yang sesungguhnya, tanpa cinta kehidupan tak memiliki makna, dan hal itu sama dengan kematian. Dengan bahasa lain, kematian dengan cinta itulah kehidupan dan kehidupan tanpa cinta itulah kematian. Lihat, Yunasril Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-Agama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), hh. 185-186
[6] Lihat, Wulan Tunjung Palupi, (ed), Jokowi Impikan Jakarta Jadi Kota Religius, dalam Republika, Rabu, 16 Oktober 2013.
[7] Yunasril Ali, Sufisme dan Pluralisme: Memahami Hakikat Agama dan Relasi Agama-Agama, h. 181
[8] Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, Titik Temu: Jurrnal Dialog Peradaban, h. 147
Oleh : Soleman Siregar (Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel JIC)