ULAMA, YAA ULAMA!

0
206

Almarhum KH. Abdurrahim Radjiun, ulama sufi terkemuka dari Betawi, anak dari Muallim Radjiun Pekojan dan Pemimpin Jama`ah Shalawat Istirhamiah bercerita tentang pengalamannya sewaktu ia masih hidup, cerita tentang kehidupan sebagian para ulama yang tidak dapat menjadi teladan bagi umat. Ia bercerita,“ Di sebuah Pesantren Alquran, kami dan beberapa sahabat dari Jakarta, diterima oleh ajengan pengasuh pondok di ruang tamu yang relatif cukup besar. Salah satu dinding ruang itu, tertutup oleh almari besar, penuh dengan susunan kitab-kitab impor berukuran besar, sehingga kami tidak perlu ragu bahwa sosok yang ada di hadapan kami adalah seorang ajengan besar.

Almarhum KH. Abdurrahim Radjiun, ulama sufi terkemuka dari Betawi, anak dari Muallim Radjiun Pekojan dan Pemimpin Jama`ah Shalawat Istirhamiah bercerita tentang pengalamannya sewaktu ia masih hidup, cerita tentang kehidupan sebagian para ulama yang tidak dapat menjadi teladan bagi umat. Ia bercerita,“ Di sebuah Pesantren Alquran, kami dan beberapa sahabat dari Jakarta, diterima oleh ajengan pengasuh pondok di ruang tamu yang relatif cukup besar. Salah satu dinding ruang itu, tertutup oleh almari besar, penuh dengan susunan kitab-kitab impor berukuran besar, sehingga kami tidak perlu ragu bahwa sosok yang ada di hadapan kami adalah seorang ajengan besar. Nuansa serupa juga kami temukan di kediaman para kiai papan atas, baik di kota kecil maupun kota besar. Tragisnya, setiap kali kami tanyakan: ‘Kenapa di almari ini tidak terpajang kitab suci Alquran?’ Umumnya orang-orang besar itu hanya menjawab tersipu, sehingga mengundang tanda tanya besar. Sesungguhnya jawaban yang mereka sembunyikan adalah: karena Alquran berukuran KECIL. Alhasil, di kantong-kantong pendidikan Alquran, ternyata kitab suci itu masih menjadi tamu di rumahnya sendiri. Keunikan lain juga sering kami temukan dari obrolan teman-teman generasi muda yang mungkin, mencemburui kesuksesan para seniornya: Nyaman benar jadi kiai. Untuk membangun sebuah lembaga pendidikan umat, tanahnya wakaf dari umat, bangunannya sedekah jariah dari umat. Tapi setelah bangunan berdiri tegak megah, kenapa umat yang ingin menjadi santri baik-baik, juga berkewajiban membayar mahal, sementara para juragan di pondok-pondok itu sudah memiliki banyak rumah yang jauh dari kelas bawah, memajang sederet mobil mewah, memiliki beberapa hektar sawah, dan tentu saja rekening koran yang angkanya Wah!

Ia melanjutkan,”Yang lebih tragis lagi, tuturan seorang rekan dari sebuah desa terpencil di bilangan Cianjur, Jawa Barat. Sahabat ini sangat ingin mengundang seorang muballigh kelas satu di daerahnya, untuk memberi taushiah pada sebuah peringatan hari besar Islam. Saat menyampaikan undangan, dia hanya berkendaraan minibus, yang tentu saja merasa gugup memarkir mobilnya berdekatan dengan garasi sang kiai yang mirip showroom. Pihak sekretariat menanggapi datar undangan yang disampaikan, sambil menjawab:’Insyaallah akan kami survei tempatnya, karena maaf, ini menyangkut keamanan kiai. Akhir cerita, acara PHBI diisi oleh muballigh lokal. Bahkan hingga pembubaran panitia, tidak ada survei, tidak ada telepon untuk permohonan maaf. Artinya, undangan itu tidak digubris. ‘Ah kiai, sedekah suara saja sudah enggan, apalagi diminta untuk bersedekah harta dan jabatan!”

Dari Tuturan di atas, almarhum KH.Abdurrahim Radjiun menyatakan bahwa itu sudah cukup untuk imenyadarkan kita tentang sikap berangan-angan menikmati kehidupan dalam bingkai Syariah Islamiah masih teramat jauh panggang dari api. Karena betapapun, para ulama yang memegang stempel ‘pewaris para nabi’ tidak berani membuka diri untuk dikritisi oleh umat yang secara cermat selalu merujuk pada keseharian Rasulullah SAW bersama para sahabat, yang terpatri dalam Sirah Nabawiah. Sementara para idol keagamaan itu, terus melaju tanpa hambatan, terkesan panik memacu obsesinya menembus awan untuk bersemayam di orbitnya sendiri. Mereka adalah orang-orang biasa yang berangkat dari tengah-tengah umat, berharap raih dukungan umat, setelah melambung mereka membentang jarak dari sentuhan umat. Andai mereka adalah sungguh-sungguh menyadari sebagai pewaris para nabi, maka kaum muda itu akan bertanya-tanya dalam dialek Betawi yang kental: ‘ Ngewarisin nabi nyang mane, ye?’

Menurutnya, terlepas dari kritik tajam atau tumpul dari rekan-rekan, dapat disimpulkan bahwa umat dari waktu ke waktu, menghadapi dua krisis tak berujung. Krisis pertama adalah krisis Imamah, kepemimpinan. Krisis ini tidak sepenuhnya benar, karena di tengah-tengah umat selalu lahir pemimpin yang tangguh untuk mencapai anak-anak tangga hingga menyentuh bibir puncak kepemimpinan. Akan tetapi sampai pada level ini, umat bukan lagi merupakan bagian dari tanggung jawab moral pemimpin, karena sang pemimpin sudah menjadi figur sentral golongan, para elit dan ambisinya sendiri, bukan lagi sebagai pemimpin umat. Salahkah mereka menelantarkan umat yang mengidolakan dan mengusung mereka menduduki posisi puncak dalam ‘karir’ keagamaannya? Tidak. Mereka tidak menyimpan katalog tentang sebuah kesalahan. Mereka adalah para pemain profesional di bidangnya, yang teramat piawai beretorika. Pemikul kesalahan yang sesungguhnya adalah umat itu sendiri, karena mereka dengan tulus menyiapkan bahunya untuk dijadikan anak-anak tangga bagi para buser kekuasaan dengan segala aksesorisnya.

Krisis kedua adalah krisis Uswah Hasanah, keteladanan yang baik. Sejauh yang dapat dipahami umat, bahwa uswah hasanah adalah figur para pemuka agama, mulai dari ustad, kiai, mugalligh, da’i, khatib jumat, imam masjid-mushalla, ‘amilin, naib-penghulu, para hakim di pengadilan agama, pimpinan Ormas-Orsospol, pejabat KUA-Depag, bahkan para presenter, selebritis: model foto, fashion maupun iklan, aktor, aktris yang memainkan peran sebagai orang baik-baik. Fenomena ‘keteladanan’ para selebritis, dapat dibuktikan dari ledakan film Ayat Ayat Cinta- tayangan yang memenangkan kaum poligamis, hampir menyentuh angka 6 jutaan penonton, minus pemirsa CD-DVD halal maupun haram, yang jumlahnya bisa 10 kali lipat, dibanding penonton layar lebar. Pertanyaannya: Kenapa kavling keteladanan yang seyogyanya berada pada ulama dan keluarga mereka, atau pihak-pihak yang memiliki kompetensi keagamaan, malah tercecer ke mana-mana?

Fakta ini sudah mustahil dielakkan, karena para kiai besar yang semula adalah para pejuang kemanusiaan, kini mereka telah menjadi korban perjuangan kesetanan. Kalaupun kita coba sikapi kenyataan getir ini sebagai sebuah fitnah akhir zaman, maka sisi moralitas manakah yang dapat diandalkan dari eksistensi mereka untuk mengasuh umat? Bukankah pepatah lama mengingatkan: bila guru kencing berdiri, maka murid akan mengencingi guru sambil berlari?=

Kalau kita tarik garis keteladanan- di mana seorang murid harus mencontoh gurunya, maka dari kasus studi selayang pandang di atas, kita tidak dapat berharap banyak untuk lahirnya seorang uswah hasanah bahkan 100 tahun ke depan. Atau sebaliknya, apabila harapan itu akan kandas di tangan para oknum ulama tamak yang hanya menjadikan punggung umat sebagai jembatan emas menuju mimpi-mimpinya, kepada siapa lagikah umat berharap dapat melihat dan merasakan keteduhan dari seorang teladan yang berpegang teguh pada pesan-pesan Qurani-Sunni, sebagai pegangan hidup menuju jalan yang dikehendaki Allah SWT, bukan jalan Thaghut yang dimurkai-Nya?

Akhirulkalam, setelah satu bulan menjalani shiyam Ramadhan, tentu yang tergembleng di madrasah Ramadhan bukan saja umat, tetapi juga ulama. Di atas kertas, ulama tentu memiliki kualitas iman dan taqwa yang jauh di atas umat yang dipimpin dan dibimbingnya. Semoga yang dikhawatirkan oleh almarhum KH. Abdurrahim Radjiun hanya menimpa segelintir ulama dan madrasah Ramadhan kemarin kita memiliki banyak ulama yang bertaqwa. Aamiin. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − 1 =