JESSICA HELENA WUYSANG/ANTARAFOTO
JIC,– Dengan meningkatnya jumlah kematian, penuhnya rumah sakit, dan kelangkaan oksigen, seharusnya sudah tak diragukan lagi bahwa Covid-19 nyata dan berbahaya.
Namun masih ada cukup banyak orang yang menolak Covid-19 atau mengabaikan risikonya. Mengapa demikian?
Sudah lama Nirahai dibuat resah oleh beberapa orang di grup WhatsApp alumni SMA-nya yang mempromosikan penolakan terhadap Covid-19. Satu orang yang tinggal di luar negeri terutama sangat vokal menyuarakan bahwa Covid-19 adalah “konspirasi” dan getol membagikan video serta artikel blog yang mendukung pandangannya.
Setiap kali dikonter dengan informasi yang resmi dan terpercaya, kata Nirahai, orang itu terdiam sebelum berkoar-koar lagi beberapa hari kemudian. Propagandanya telah memengaruhi beberapa orang dalam grup SMA Nirahai yang masih ragu-ragu.
Merasa kewalahan, Nirahai akhirnya menyerah untuk meyakinkan orang itu dan beberapa kawannya yang sudah terpengaruh. Sekarang, ia hanya fokus melindungi keluarga dan orang-orang terdekatnya dari penyakit mematikan itu.
“Sudah sampai geregetan, akhirnya saya begini ‘Ah ya sanalah terserah kalian, yang penting gue dan keluarga gue, dan siapa yang mau peduli menjalankan apa yang bisa kita lakukan’. Itu saja,” kata ibu rumah tangga berusia 61 tahun itu kepada BBC News Indonesia.
Sikap menolak Covid-19 atau meremehkan risikonya adalah bentuk penyangkalan atau denial. Sikap ini disinyalir sudah ada sejak awal pandemi pada tahun 2020 lalu.
Survei persepsi risiko yang dilakukan organisasi relawan Lapor Covid-19 bekerja sama dengan Social Resilience Lab Nanyang Technology University (NTU) di Jakarta dan Surabaya tahun lalu menemukan bahwa lebih dari 50% warga merasa yakin tidak akan tertular virus corona.
Belum ada survei serupa yang dilakukan tahun ini namun menurut Najmah Usman, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, penyangkalan sudah menjadi persepsi umum di masyarakat.
“Penyangkalan atau denial sudah menjadi persepsi yang diyakini secara berjemaah, tidak bergantung pada parah atau tidaknya kondisi Covid-19 sekarang ini,” kata Najmah.
Menurut Najmah, sikap denial adalah hasil akumulasi berbagai faktor seperti ekonomi, relijius, dan terutama ketidakjelasan penanganan Covid-19 baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini diperparah oleh misinformasi dan hoaks yang menyebar dengan mudah melalui media sosial.
Semua itu dapat membuat orang cenderung abai terhadap risiko penyakit ini dan tidak percaya atau takut pada otoritas kesehatan. Dalam beberapa situasi, ia bahkan berujung pada hilangnya nyawa.
Seperti yang terjadi pada Helmi Indra, 34 tahun. Ayahnya meninggal dunia pada awal Juli lalu dalam keadaan positif Covid-19 setelah kondisinya memburuk dan dirawat di rumah sakit.
Helmi menceritakan, dalam rangkaian twitnya yang viral, bahwa sang ayah sempat menolak vaksinasi dan enggan dibawa ke rumah sakit karena “takut dicovidkan”.
Helmi mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa ayahnya percaya pandemi Covid-19 itu nyata, namun ia terpengaruh oleh misinformasi tentang vaksin dan anggapan bahwa banyak pasien Covid-19 meninggal bukan karena penyakitnya melainkan karena interaksi obat. Itu membuat pria berusia 60 tahun itu takut ke rumah sakit.
Helmi yakin bahwa hoaks berperan besar dalam kematian ayahnya. Menurut Helmi, sang ayah jarang mengecek kebenaran informasi yang tersebar lewat WhatsApp.
“Di minggu-minggu itu berita mengenai interaksi obat lagi kencang-kencangnya, tersebar ke grup-grup WA, itu jadi salah satu yang membuat takut … Akhirnya Papa hanya minum obat pereda nyeri aja untuk pusingnya dan tidak mengonsumsi semua obat yang direkomendasikan,” tuturnya.