JIC- Kala itu Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani sebagai Mufti sekaligus Qadhi di Mesir ingin berangkat ke tempat kerjanya dengan menaiki sebuah kereta kencana. Meskipun ia sempat menolak dengan fasilitas yang berlebihan. Namun, sang Sultan memintanya untuk tetap memakai fasilitas yang ada agar memudahkan Sang Imam dalam melayani ummat.
Tiba-tiba saja kereta terhenti di dekat pasar, sang kusir yang terkejut, menarik kekang kudanya dengan tangkas. Rupanya seorang Yahudi penjual minyak merentangkan tanganya, menghalangi perjalanan. Imam Ibn Hajar turun dan tersenyum kepada lelaki itu. Kala mereka berhadap-hadapan, penampilan keduanya tampak bertolak belakang. Ibn Hajar terlihat anggun dan megah dengan imamah putihnya yang cerah. Sementara Yahudi penjual minyak itu jelas dekil, compang-camping, dan kumal. Bau apak nyaris busuk menguar dari badan dan pakaiannya.
“Wahai pemuda Islam,” lantangnya, “Nabimu mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surganya orang kafir.” Rupanya keturunan Bani Israil menghafal hadits riwayat Imam Muslim ini. “Benarkah demikian?”
“Betul,” sahut Ibn Hajar dengan senyum manis merekah dari bibir beliau. Di atas janggut yang telah memutih, demikianlah sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam.
“Kalau begitu akulah mukmin dan kamu kafir!” hardik si Yahudi dengan bentakan kasar.
“Oh,” sahut Ibn Hajar sambil tersenyum lagi, “Mengapa bisa demikian, hai Ahli Kitab yang malang?
“Coba lihat,” sambung si Yahudi, “Aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak, miskin, dekil, compang-camping, dan lusuh. Aku merasa terpenjara oleh kekafiranku ini, sehingga aku adalah mukmin. Sedangkan kamu, hidup mewah dan tampil megah, menaiki kereta yang sangat indah. Sungguh, kamu seakan-akan hidup di surga. Maka sesuai hadits tadi, kamu adalah orang kafir.”
Ibn Hajar menyimak dan menganguk-angguk penuh belas kasih. Setelah tersenyum dan menghela nafas, belau berkata, “Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadits itu, duhai cucu Ya’qub?”
Lelaki itu mengangguk.
“Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku,” papar Ibn Hajar, “Sebab segala kemewahan yang ku nikmati sekarang, sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dunia ini masih menahan langkah kami dengan jarak waktu, menguji keyakinan kami denga takut, lapar, lelah, kekurangan, kehilangan, kesempitan, dan kesedihan. Adapun di surga, tak ada lagi semua itu, hanya nikmat yang tak berakhir lagi tak membosankan. Sunggguh, meski kau melihat kami tampak megah dan mewah, kami sedang terpenjara sebab masih menanti nikmat yang jauh lebih berlipat.
“Adapun engkau, seperti yang engkau telah rasakan, hidupmu di dunia memang disesaki kepayahan dan penderitaan. Tetapi ketahuilah, semua nestapa yang mencekikmu itu tiada artinya dibanding apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka. Saat ini kau masih dapat bernafas lega, makan jika lapar, minum jika haus, juga memliki anak dan istri. Duniamu yang kau katakan terasa menyiksa, sungguh adalah surga, tempatmu masih bisa tertawa, berjalan dan berlari, bekerja dan memperoleh gaji. Betapa surganya itu, dibanding siksa abadi kelak di neraka sejati. Api yang menghanguskan, siksa yang meremukkan. Kehausan yang di guyuri air mendidih. Kelaparan yang disuapi darah, nanah, dan zaqqum.
Yahudi penjual minyak itu ternganga. Dia menunduk dan tergugu. Ketika mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca, dia berkata lirih, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Segera, tanpa mempedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam.
“Selamat datang! Selamat datang, saudaraku! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala puji-pujian hanya milik-Nya yang telah menyelamatkan mu dari neraka!” Meraka pun berangkulan erat. Hari itu, si penjual minyak di bawah Ibn Hajar kerumahnya, dididik dan akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang ternama.
Dunia ibarat surga bagi orang kafir. Mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan di dunia ini. Memakan daging babi, minum khamr dan berzina. Sebaliknya, dunia ini bagaikan sebuah penjara yang menyesakkan bagi orang-orang mukmin. Karena mereka harus menahan segala apa yang diperintahkan oleh nafsunya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Ahmad).
Melihat realita yang ada, kebanyakan kaum muslimin di dunia ini adalah orang fakir dan miskin. Mereka hanya menjadi pedagang kecil, pegawai, buruh dan pekerjaan kecil lainnya. Sementara mayoritas perusahaan besar adalah milik orang kafir, para penemu teknologi, pemegang kurs mata uang paling tinggi, dan mayoritas negera-negara maju di kuasai oleh mereka.
“Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka menghina orang-orang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di atas mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Baqarah: 212)
Tapi tidak usah bersedih ketika mereka merendahkan kita di dunia ini. Biarlah mereka bersenang-senang serta dilalaikan oleh angan-angan kosong mereka. Mereka menyiksa kaum muslimin, membunuh ribuan nyawa anak-anak yang tak berdosa. Di Palestina, Rohingya, Burma, Iughur, Suriah. Tapi ingat, pada hari kiamat kelak kita akan berada di atas mereka, pada hari itu kita yang akan menertawakan mereka dan mereka pun berangan-angan agar dikembalikan kedua ini untuk menjadi seorang muslim, Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman yang menertawakan orang-orang kafir.” (QS. Al-Muthaffifin: 34)
Maka kita sebagai muslim, jangan tertipu dengan kehidupan dunia ini. Kehidupan yang penuh senda gurau dan main-main, kehidupan yang sungguh melalaikan. Jangan lupa bahwa dunia hanyalah tempat di mana sandiwara kehidupan dipentaskan. “Kehidupan dunia sangat sederhana. Kita bagaikan aktor dan artis yang sedang memegang peran masing-masing. Sedangkan sutradaranya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Skenarionya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa yang memerankan perannya sesuai dengan skenario Allah, maka ia pun memperoleh bayaran berupa surga. Tetapi bagi mereka yang berperan sesuai kehendak hati dan nafsunya melanggar skenario yang ditetapkan oleh sang Sutradara Kehidupan, mereka akan dipecat, masuk ke dalam neraka.” (Ahmad Rifa’I Rif’an)
Ketika Allah menyuruh kita bersabar saat ujian kemiskinan melanda, maka bersabarlah. Begitupula ketika Allah memberikan kita nikmat, maka bersyukurlah. Kunci selamat dalam kehidupan ini adalah megikuti kehendak Allah dan menjalankan skenario yang telah ditetapkan-Nya. Jangan keluar batas apalagi membuat skenario baru, maka kehidupanmu akan kacau balau dan bisa saja mendapatkan hukuman dari sang Sutradara. So, jika selama ini kita masih menyimpang dari skenario yang telah ditetapkan maka segeralah kembali. Sebelum sang Sutradara mengatakan “cut” pertanda Anda diberhentikan dari adegan kehidupan ini.
Akhirnya, jadilah di dunia ini layaknya orang asing atau seperti seorang perantau. Karena tujuan perjalanan kita bukanlah dunia, akan tetapi tujuan akhir kita adalah akhirat. Jadikanlah dunia ladang untuk bercocok tanam, sedangkan masa panen adalah di akhirat kelak. Bersyukurlah atas segala kenikmatan maka nikmat itu bertambah. Sedangkan dalam urusan dunia ini, jangan melihat orang yang berada di atas kita, lihatlah kepada siapa yang berada di bawah kita, agar kita bisa lebih bersyukur atas segala kehendak-Nya.
*Ditulis: Andri Astiawan