KAUM BETAWI DI MASA DATANG

0
218

Tahun 2013 ini, kaum Betawi tengah bebenah, setelah jago mereka kalah dalam pertarungan di pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Kekalahan yang dapat diterima karena kaum ini menyadari bahwa mereka tidak hidup sendirian. Ada saudara-saudara mereka yang beda etnis bahkan saudara-saudara mereka sendiri sesama Betawi yang mempunyai pilihan berbeda, yang menginginkan tokoh lain memimpin Jakarta, dan itu harus dihormati. Toh tujuannya tetap sama, yaitu keadilan, kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kenyamanan dapat dicapai secepat-cepatnya., terutama macet dan banjir bisa diatasi dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Tahun 2013 ini, kaum Betawi tengah bebenah, setelah jago mereka kalah dalam pertarungan di pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Kekalahan yang dapat diterima karena kaum ini menyadari bahwa mereka tidak hidup sendirian. Ada saudara-saudara mereka yang beda etnis bahkan saudara-saudara mereka sendiri sesama Betawi yang mempunyai pilihan berbeda, yang menginginkan tokoh lain memimpin Jakarta, dan itu harus dihormati. Toh tujuannya tetap sama, yaitu keadilan, kesejahteraan, keamanan, ketertiban dan kenyamanan dapat dicapai secepat-cepatnya., terutama macet dan banjir bisa diatasi dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Namun, bebenah menjadi penting sebagai introspeksi dan untuk konsolidasi agar kaum ini tetap kuat dan mampu terus berjuang agar identitas dan kekayaan kulturalnya tidak hilang dan dihilangkan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Sarana yang dipakai bebenah itu dari Kongres Rakyat Betawi Ke-2 sampai digelar Pra Musyawarah Besar (Mubes) juga telah diselenggarakan. Tinggal satu agenda besar lagi, yaitu Mubes Bamus Betawi VI yang awalnya akan diselenggarakan pada bulan Februari ini, namun karena satu dan lain hal, diundur awal Maret 2013.

Terkait dengan kegiatan bebenah ini, KH. Abdurrahim Radjiun, ulama sufi terkemua asal Betawi, dalam makalahnya yang dipaparkan pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi di Festival Maulid Nusantara Ke- 2 bertempat di Jakarta Islamic Centre (JIC) , 27 Maret 2007 memberikan tinjauan futuristik tentang nasib kaum Betawi di masa datang. Tinjauannya sampai saat ini menurut saya masih relevan dan patut menjadi referensi bagi elit dan anggota kaum ini yang akan melaksanakan mubesnya yang keenam agar dalam menyusun dan menjalankan visi, misi, strategi dan program-programnya betul-betul menyentuh ke inti persoalan.

Menurutnya, setelah perang dingin negara-negara adidaya selesai, Uni Sovyet telah runtuh dan Yugoslavia lebih menyerupai kertas yang tercabik, Amerika dan sekutunya akan terus menyalakan api peperangan antiklimaks dengan prioritas mengarahkan laras senjata yang efektif untuk mematikan peradaban, tanpa malu dan rasa kemanusiaan, ke dunia Islam. Setelah kawasan Afrika, maka Timur Tengah, Asia Tengah dan Tenggara mulai cicipi pil pahit, dengan menerima tuduhan menjadi kantong-kantong teroris, diskriminasi etnikal dan pelecehan Hak Asasi Manusia. Padahal mereka lancarkan tuduhan itu justru melalui teror, tindakan diskriminatif dan sama sekali tidak mengindahkan HAM. Meski tuduhan yang mereka lontarkan hanyalah sekadar merupakan stempel, untuk memaksa penguasa setempat bertekuk lutut, dengan Drain Action, aksi pengurasan sumber alam dan pemusnahan sumber daya manusia yang diduga menjadi tokoh-tokoh sentaralnya.

Pada gilirannya, Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya bergama Islam, dianggap paling berpotensi untuk membangun peradaban Islami memimpin ummat Islam dunia, mulai diusik dan di dimarginalisasi, bersama beberapa Negara-negara Islam-Arab, dengan perseteruan internal berupa sekat-sekat Mazhabiyyah, maupun adu domba klise melalui perbedaan-perbedaan klasik : muslim fundamental-tradisional dengan kalangan moderat-sekuler, melalui issu antiklimaks: perebutan kekuasaan di berbagai lini.

Jakarta, sebagai Ibukota Negara, dari zaman Jayakarta sampai Jayaraya, diyakini dapat menjadi kendaraan tercepat untuk menjangkau daerah-daerah lain di seluruh Nusantara, telah menjadi basis pembangunan kekuatan dan perseturuan antar elit dengan beragam kepentingan. Teknologi informatika, media komunikasi massa baik cetak maupun elektronik, bergerak dalam hitungan jari. Pragmatisme, efisiensi dan efektifitas sudah menjadi menjadi pertimbangan prioritas. Sebagai akibat tak langsung, dampak psikologis dari percepatan di seluruh sektor kehidupan, telah banyak mempengaruhi Lifestyle, gaya hidup penduduk Jakarta.

Etnik Betawi – bukan Arab, Cina, Portugis, India apalagi Belanda, didasarkan pada temuan-temuan arkeologis, diduga telah bermukim di Nusa Kalapa pada abad permulaan, dianggap aman dan laik huni, belasan abad sebelum Lohanda, Willemse dan MH. Thamrin menyatakan keberadaan kaum ini sebagai etnik Betawi. Temuan gemilang Ridwan Saidi, budayawan Betawi yang oleh beberapa kalangan dianggap kontroversial, telah memberi saham besar bagi pengayaan khazanah etnik ini. Mereka adalah penduduk asli tanah Jawa, yang mencari penghidupan dari hasil laut dan bercocok tanam di sepanjang pesisir. Familiaritas dan tampilan extrovert, keterbukaan, etnik ini dalam tata pergaulan, sangat mencirikan penduduk pesisir, seperti etnik lain yang akrab dengan kelautan.

Kelapangan hati, loyalitas tinggai disertai etos kerja optimal, seakan menjadi identitas mereka yang menyimbolkan keluasan laut dan keteguhan perjuangan melawan ganasnya ombak. Sampai mereka tergeser dan menepi oleh berbagai pertarungan kepentingan para migran dari berbagai pelosok dan penguasa, mereka tetap saja dikenal sebagai suku yang periang dan bersahabat. Emang Gue Pikirin, EGP, salah satu contoh, telah menjadi ungkapan nasional informal; itu bukan ungkapan sikap masabodoh etnik ini dalam menyikapi suatu keadaan, akan tetapi lebih mencirikan kekayaan rohaniahnya, yang memandang persoalan besar menjadi kecil.

Saat ini, sebagian dari mereka masih berada di tengah-tengah masyarakat kosmopolis Jakarta, sisanya telah menepi mencari cekungan lain, disebabkan oleh desakan kapitalis-kolonialis baru yang memberi tekanan kuat pada pembuat kebijakan untuk merentang konsep pembangunan dan perluasan tata ruang kota yang pada akhirnya etnik ini tergeser, tergusur atau tergerus habis. Bahkan muncul kekhawatiran bahwa kelak masyarakat Jakarta atau para pelancong ke Ibukota akan temukan peninggalan sejarah sebuah etnik tertua di tanah ini, terkumpul di Museum Ondel-ondel, dengan sepotong kalimat lirih : “Mereka pernah ada, dan menyokong orang tiada menjadi berada. Mereka adalah tuan rumah yang ramah; namun kini, etnik itu telah punah, ditelan kemarahan tetamu di rumahnya sendiri . ***

 

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five − two =