Memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei, perlu kiranya saya mengulas sosok KH Abdul Manaf Mukhayyar, tokoh pendidikan dari tanah Betawi, yang telah berhasil membangun salah satu pondok pesantren terkemuka di Jakarta, bahkan tersohor di seluruh nusantara hingga Asia Tenggara, yaitu Pondok Pesantren Darunnajah, yang beralamatkan di Jl Ulujami Raya No 86 Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei, perlu kiranya saya mengulas sosok KH Abdul Manaf Mukhayyar, tokoh pendidikan dari tanah Betawi, yang telah berhasil membangun salah satu pondok pesantren terkemuka di Jakarta, bahkan tersohor di seluruh nusantara hingga Asia Tenggara, yaitu Pondok Pesantren Darunnajah, yang beralamatkan di Jl Ulujami Raya No 86 Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
KH Abdul Manaf Mukhayyar adalah wakif, yaitu orang yang telah mewakafkan tanahnya untuk lokasi pembangunan Darunnajah. Ia juga membelanjakan hartanya untuk menggaji guru, membelanjakan uangnya untuk membangun madrasah, dan menutup biaya operasional pada saat awal mula pendirian pesantren ini. Abdul Manaf juga penggagas ide pendirian lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam dan mencetak kader-kader ulama.
Pada awal 2012, Yayasan Darunnajah sudah memiliki 14 pesantren di seluruh Indonesia dengan ribuan santri yang menuntut ilmu agama Islam di dalamnya. Kini, dikelola oleh KH Mahrus Amin, menantu dari KH Abdul Manaf Mukhayyar.
KH Abdul Manaf Mukhayyar lahir di kampung Kebon Kelapa, Palmerah, pada Kamis 29 Juni 1922 dari pasangan Haji Mukhayyar dan Hj Hamidah. Ia adalah anak keempat dari 11 bersaudara. Sejak kecil, H Mukhayyar (ayah KH Abdul Manaf Mukhayyar) sudah menanamkan kebiasaan beribadah bagi anak-anaknya, termasuk kepada Abdul Manaf. Saat bulan puasa, anak-anaknya diajak ke masjid untuk shalat tarawih. Ayah H Mukhayyar, H Bukhori, juga ikut membimbing cucu-cucunya.
Untuk pendidikan awalnya, ia dikirim oleh ayahnya untuk belajar di sekolah Belanda dan sore harinya belajar mengaji ke madrasah. Pada waktu itu, hanya orang-orang yang secara ekonomi mampu atau memiliki kedudukan di pemerintahan saja yang bisa belajar di sekolah Belanda. Abdul Manaf kecil termasuk beruntung karena H Mukhayyar termasuk orang kaya. Ia memasukkan Abdul Manaf ke volksschool (sekolah dasar) selama tiga tahun di Pengembangan Palmerah pada usia 10 tahun. Dari volksschool, Abdul Manaf melanjutkan ke vervolegschool (sekolah lanjutan) selama dua tahun.
Selain belajar di sekolah, sore hari selepas pulang dari vervolegschool, Abdul Manaf muda mengikuti pengajian di rumah Haji Sidik di Bendungan Hilir.
Setamat dari vervolegschool, Abdul Manaf meminta izin kepada orang tuanya untuk belajar di Jamiatul Khair yang terletak di daerah Karet, Tanah Abang. Ini adalah lembaga pendidikan madrasah yang sangat maju pada masanya. Murid-murid di madrasah ini diajar bahasa Arab dan guru-gurunya kebanyakan dari Timur Tengah. Pada saat itu, Jamiatul Khair termasuk sekolah terpandang karena para muridnya umumnya dari kalangan orang-orang Arab yang kaya. Abdul Manaf adalah pengecualian. Meskipun ia bukan keturunan Arab, ia diterima dan belajar di sekolah yang pada kemudian hari menjadi inspirasinya untuk mendirikan Pesantren Modern Darunnajah.
Ia juga sempat belajar bahasa Belanda pada 1942 untuk menambah pengetahuannya, tapi hal itu hanya berlangsung selama dua bulan karena penggunaan bahasa Belanda dilarang akibat datangnya penjajah Jepang di Tanah Air. Bahasa Belanda tidak diajarkan di Jamiatul Khair. Sebagai gantinya, bahasa Inggris diajarkan sebagai pelajaran wajib. Sebenarnya, setelah ibtidaiyah, masih ada tingkat tsanawiyah yang ditempuh selama tiga tahun. Lulusan tsanawiyah Jamiat Khair bisa melanjutkan ke Makkah atau ke Mesir.
Namun, Abdul Manaf tak mengambilnya. Datangnya penjajahan Jepang dan kesulitan ekonomi agaknya menjadi alasannya kala itu.
Pada 1939, saat menempuh studi di Jamiat Khair inilah, muncul ide dalam diri Abdul Manaf untuk mendirikan madrasah dengan sistem modern. Ide ini diwujudkan dengan mendirikan Madrasah Islamiyah pada 1942 dengan sistem pengajaran modern mencontoh Jamiatul Khair. Saat itu, Abdul Manaf belum mengenal pola pondok pesantren. Selain madrasah untuk mengajarkan agama, Abdul Manaf juga memiliki niat mendirikan sekolah gratis untuk orang fakir.
Niat mulia mendirikan sekolah juga tak lepas dari pesan guru-gurunya di Jamiatul Khair yang selalu diingatnya. Pesan itu antara lain agar Abdul Manaf menjadi orang jujur, tidak mengesampingkan pendidikan, selalu shalat berjamaah, dan tidak melupakan kaum fakir miskin. Konon, saat masih duduk di bangku Jamiatul Khair, Abdul Manaf pernah menulis kata-kata dalam bahasa Arab pada salah satu kitab dengan bunyi idza sirtu ghaniyyan aftah madrasah lil fuqara’ majjanan. Artinya, kalau saya jadi orang kaya, saya akan membuka sekolah gratis untuk anakanak yang tidak mampu. Inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta sekarang yang dipimpin oleh menantunya, KH Mahrus Amin, di bawah naungan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI) yang ia dirikan bersama teman-temannya.
Ia juga bukan hanya perintis Pondok Pesantren Darunnajah, melainkan juga seorang pejuang. Majalah Pesan pada 1989 memuat profil Abdul Manaf dalam salah satu artikelnya. Disebutkan bahwa pada masa revolusi fisik, Abdul Manaf dibantu ayahnya membuka dapur umum untuk keperluan para pejuang. Dia juga turut memanggul senjata di sekitar wilayah Rawabelong, Kebayoran Lama, dan Palmerah.
Pada 21 September 2005, tokoh pendidikan Islam dari Betawi ini meninggalkan kita semua pada umur 83 tahun, mewariskan sebuah lembaga pendidikan Islam terkemuka yang menjadi pendidikan generasi umat Islam juga untuk kaum Betawi.
Oleh Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC