JIC- Jangan pernah hidup memendam dendam. Menyimpan dendam membuat hidup tak akan tenang dan sulit merasakan kebahagiaan. Maka maafkan saja semuanya, hidup Anda akan tenang dan bahagia.
Mungkin ada orang yang pernah memfitnah Anda. Mungkin ada orang yang pernah menzalimi Anda. Mungkin ada orang pernah menyakiti hati Anda. Maafkanlah mereka semua, agar Anda mendapat kemuliaan.
Nabi saw bersabda,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba karena memaafkan, kecuali kemuliaan. Dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu) karena Allah, melainkan akan diangkat oleh Allah” (HR. Muslim).
Memaafkan orang yang pernah menyakiti kita, tidaklah mudah. Diperlukan kebesaran jiwa untuk bisa memaafkan. Mari kita belajar memaafkan dari orang-orang besar zaman dulu, agar hidup kita penuh ketenteraman dan kedamaian.
Bagaimana kondisi memaafkan? Berikut beberapa kondisinya.
- Memaafkan dan Berlapang Dada
Kondisi pertama adalah memaafkan dan berlapang dada. Allah berfirman,
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada” (QS. An-Nur: 22)
Suatu ketika ‘Aisyah difitnah dengan sangat keji oleh beberapa orang, dalam peristiwa haditsul ‘ifki. Sebagaimana diketahui, peristiwa haditsul ifki adalah fitnah keji terhadap ‘Aisyah yang dituduh berselingkuh dengan seorang sahabat yang bernama Shafwan bin Mu’aththal.
‘Aisyah sangat terpukul saat mengetahui kabar dirinya berselingkuh tersebar di seluruh Kota Madinah. ‘Aisyah jatuh sakit selama sebulan lamanya. Sejak saat itu, ‘Aisyah memilih tinggal di rumah ayahnya, Abu Bakar, setelah mendapatkan izin dari Nabi saw. Dalam satu riwayat, ‘Aisyah menangis hingga dua malam tanpa henti.
Sebagai sahabat utama, Abu Bakar tak rela jika Nabi saw dan keluarganya mendapat fitnah. Terlebih ‘Aisyah adalah anak kandungnya.
Kemarahan Abu Bakar Ash-Shidiq memuncak ketika mengetahui Misthah bin Utsatsah, saudara sepupu yang selama ini selalu dibantu ekonominya, ikut andil dalam menyebarkan berita hoax yang telah melukai hati Nabi saw. Maka Abu Bakar bersumpah tidak akan membantunya lagi.
“Aku tak akan mau membantu memberinya nafkah lagi”, ujar Abu Bakar. Padahal selama ini Abu Bakar selalu menyantuni Misthah yang fakir.
Tak lama dari ucapan sumpah Abu Bakar ini, turunlah firman Allah menegur sikap Abu Bakar. Allah berfirman,
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nur: 22)
Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar berkata, “Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah mengampuniku”. Sungguh Abu Bakar sangat ingin diampuni. Maka ia berjanji, “Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya”.
Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia cukupi nafkahnya. Ini adalah sikap pemaaf Abu Bakar yang menjalankan perintah dan peringatan Allah.
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada”.
أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nur: 22).
Demikianlah kemuliaan dan kebesaran jiwa Abu Bakar, yang memilih memaafkan dan berlapang dada atas perilaku Misthah.
Kita lihat kisah lainnya dari sahabat utama Nabi saw. Sekarang kita belajar kepada Umar bin Khatab.
Suatu ketika Uyainah bin Hishan datang menemui Khalifah Umar bin Khatab. Di hadapan Khalifah Umar ia berkata, “Inilah, wahai Ibnu Khatab, demi Allah, kamu tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami secara adil”.
Mendengar kalimat Uyainah itu, Khalifah Umar marah, sampai muncul keinginan buruk darinya. Melihat respon Umar, budak beliau mengingatkan, “Wahai Amirul mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah Ta’ala berkata pada Nabi-Nya Muhammad saw,
قال الله تعالى:خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).
Perawi mengatakan,
وَاللهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللهِ
“Demi Allah tidak sampai sempurna ayat tersebut dibacakan pada Umar melainkan dirinya langsung redam emosinya. Dan beliau adalah orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah“.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas.
Pelajaran sangat berharga untuk kita semua, dari sikap Khalifah Umar bin Khathab. Sebagai manusia biasa, Umar juga memiliki emosi. Umar juga bisa terpancing kemarahannya.
Perkataan Uyainah bin Hishan yang melecehkan dirinya, membuat Khalifah Umar naik pitam. Ia akan marah dan membela diri. Namun ada budak yang mengingatkannya dengan ayat Allah.
Khalifah Umar tidak memandang bahwa yang memberi peringatan adalah seorang budak. Namun ia mendengar bahwa yang disampaikan adalah firman Allah.
Maka tak perlu menunggu selesai ayat dibacakan, Khalifah Umar langsung reda amarahnya. Ia memilih memaafkan dan tidak mengumbar kemarahan. Mari belajar bersikap mulia dan besar jiwa dari Khalifah Umar bin Khathab.
- Memaafkan dan Memintakan Ampunan
Kondisi berikutnya adalah memaafkan dan memintakan ampunan kepada Allah. Tentu ini menjadi tindakan yang lebih berat dibanding yang pertama. Karena bukan saja memaafkan, namun memintakan ampunan kepada Allah terhadap orang yang pernah
فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ
“Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka” (QS. Ali Imran: 159).
Pada masa umat Islam dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun, terjadi fitnah besar dalam pemahaman aqidah. Al-Ma’mun menggunakan otoritas yang dimiliki untuk memaksakan pendapat. Semua ulama dipaksa menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Jika menolak, akan dijebloskan ke dalam penjara.
Salah satu ulama yang bersikeras menolak paham yang dibawa khalifah itu adalah Imam Ahmad. Maka beliau dipenjara dan diasingkan.
Setelah Khalifah Al-Ma’mun wafat (218 H), Khalifah Al-Mu’tashim menggantikan memimpin pemerintahan. Sayang, Al-Mu’tashim masih melanjutkan kebijakan rezim sebelumnya. Di masa pemerintahan Al-Mu’tashim, Imam Ahmad tidak hanya dipenjara, tetapi juga mendapat sejumlah penyiksaan.
Dalam kitab “Raudhatul Uqala Wa Nuzhatul Fudhala” (Taman Orang-Orang Berakal Dan Hiburan Bagi Orang-Orang Yang Mempunyai Keutamaan) karya Imam Ibnu Hibban, dikisahkan tentang seorang tabib yang suka mengobati para ahli Al-Qur’an.
Tabib yang tinggal di Baghdad tersebut sering mengunjungi dan memeriksa kesehatan orang-orang shalih. Suatu ketika tabib mengunjungi Imam Ahmad bin Hambal yang sedang sakit.
Saat itu, Imam Ahmad telah dikeluarkan dari penjara, di masa pemerintahan Khalifah Al-Mu’tashim. Selama dalam penjara, Imam Ahmad banyak mendapatkan siksaan.
“Bagaimana keadaanmu wahai Abu Abdillah?” tanya tabib setelah bertemu Imam Ahmad.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja,” jawab Imam Ahmad.
“Baik bagaimana?” tanya Tabib.
“Aku telah mendapat ujian dengan fitnah (yakni khalqul Qur’an), sehingga aku dicambuk. Lalu mereka mengobatiku, dan aku merasa sudah sembuh. Hanya saja, aku masih merasakan sakit pada tulang punggungku. Rasa sakitnya jauh melampaui rasa sakit akibat cambukan yang aku alami…”
“Coba singkapkan tulang punggungmu kepadaku…”
Ahmad bin Hanbal kemudian menyingkapkan tulang punggungnya untuk diperlihatkan kepada tabib. Namun tabib tidak melihat apapun selain bekas cambukan. Ia pun berkata, “Aku belum tahu penyebabnya, tapi aku akan mencoba mencari tahu.”
Setelah keluar dari rumah Imam Ahmad bin Hanbal, tabib segera menemui temannya yang menjadi penjaga penjara. “Aku ada keperluan, bolehkah aku masuk ke penjara?”
“Masuklah,” jawab penjaga penjara.
Tabib itu pun masuk. Setelah tiba di dalam, ia mengumpulkan anak-anak muda yang dipenjara. Tabib membagi-bagikan uang dirham yang dibawanya untuk hadiah. Setelah itu, ia mengajak mengobrol anak-anak muda tersebut.
“Siapa di antara kalian yang paling banyak dicambuk?” tanya tabib.
Semua menyatakan sering dicambuk. Bahkan membanggakan bahwa diri mereka paling banyak dicambuk selama di dalam penjara. Hingga akhirnya mereka sepakat pada satu anak muda yang memang paling banyak dicambuk.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya tabib.
“Silakan,” jawab anak muda.
“Ada seorang kakek tua yang lemah. Ia dicambuk dalam keadaan lapar agar ia mati, tapi tidak mati juga. Kemudian ia diobati, dan sembuh. Hanya saja, pada bagian tulang punggungnya ia masih merasakan sakit yang dahsyat hingga ia tidak mampu menahannya.”
Mendengar cerita tersebut, tiba-tiba anak muda tersebut tertawa. Tabib heran.
“Mengapa kamu tertawa?” tanya tabib.
“Orang yang mengobatinya pasti tukang tenun!”
“Benarkah?” tanya tabib.
“Ia membiarkan sepotong daging mati tertinggal pada rusuk, dan ia tidak mencabutnya.”
Tabib semakin penasaran. “Bagaimana rekayasa tersebut bisa terjadi?”
“Ia membedah tulang rusuknya. Lalu mengambil sepotong daging, dan meletakkan pada tulang rusuknya. Jika daging itu dibiarkan, ia akan sampai pada hati hingga bisa menyebabkan kematian,” jawab anak muda.
Tabib bergegas meninggalkan penjara untuk menemui Imam Ahmad. Setelah bertemu Imam Ahmad, ia menceritakan apa yang telah didengarnya.
“Jika demikian, siapa yang akan membedahku lagi?” tanya Imam Ahmad.
“Aku yang akan membedahnya,” jawab tabib.
“Kamu yang akan melakukannya?”
“Ya. Aku yang akan melakukannya,” jawab tabib dengan yakin.
Tabib membawa dua bantal, dan meletakkan handuk di bahunya. Satu bantal disiapkan untuk dirinya dan satu bantal untuk Imam Ahmad.
Saat Imam Ahmad sudah duduk di atas bantal, ia berkata, “Mintalah pilihan terbaik kepada Allah agar Dia memilihkan yang sesuai untukmu.”
Tabib mengusapkan handuk pada tulang punggung Imam Ahmad seraya berkata, “Tunjukkan kepadaku mana bagian yang sakit?”
“Letakkan jarimu pada punggungku, aku akan memberitahumu,” ujar Imam Ahmad.
Sambil memegang punggung Imam Ahmad, tabib bertanya, “Apakah di sini tempat yang sakit?”
“Alhamdulillah, itu baik-baik saja,” jawab Imam Ahmad.
“Apakah bagian ini yang sakit?” tanya tabib.
“Alhamdulillah, itu baik-baik saja.”
“Apakah bagian ini yang sakit?” tanya tabib.
“Ya, di situ. Aku memohon kesehatan kepada Allah,” jawab Imam Ahmad.
Tabib mulai meletakkan pisau panas. Saat merasakan panasnya pisau, Imam Ahmad meletakkan tangan di kepalanya seraya berucap, “Ya Allah, ampunilah Mu’tashim!“ Beliau selalu mengucapkan kalimat itu, hingga tabib berhasil membedahnya.
Setelah membedah, tabib kemudian menjahit kembali bekas luka bedah pada tubuh Imam Ahmad. Di tengah-tengah menahan rasa sakit, Imam Ahmad selalu berucap, “Ya Allah, ampunilah Mu’tashim.” Hal tersebut diucapkan berulang kali hingga ia merasa tenang.
Luar biasa kemuliaan dan kebesaran jiwa Imam Ahmad. Meskipun disakiti dan dizalimi, beliau justru membalas dengan mendoakan kebaikan. Bahkan tidak menyisakan dendam apapun.
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah menceritakan:
في أيام المأمون، ثم المعتصم، ثم الواثق بسبب القرآن العظيم، وما أصابه من الحبس الطويل، والضرب الشديد، والتهديد بالقتل بسوء العذاب وأليم العقاب، وقلة مبالاته بما كان منهم في ذلك إليه، وصبره عليه وتمسكه بما كان عليه من الدين القويم والصراط المستقيم
“Imam Ahmad bin Hambal terus mengalami ujian dengan dipaksa untuk mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk selama tiga rezim berturut-turut, yaitu masa Khalifah Al-Ma’mun, Khalifah Al-Mu’tashim, dan Khalifah Al-Watsiq. Selama itu pula, ia dijebloskan ke penjara dalam waktu yang cukup lama, mendapat siksaan yang berat, bahkan diancam untuk dibunuh. Namun, semua itu tak membuat keyakinannya goyah.”
Lihatlah keagungan jiwa Imam Ahmad saat beliau menyatakan, ”Semua yang pernah membicarakanku maka semua halal dan aku maafkan. Dan akupun memaafkan Abu Ishaq (Al-Mu’tashim).”
Mengapa beliau memaafkan Al-Mu’tashim? Imam Ahmad mengatakan, “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala : Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nur: 22). Subhanallah, betapa mulia jiwa beliau.
- Memaafkan dan Berbuat Kebaikan
Kondisi berikutnya adalah memaafkan dan berbuat kebaikan kepada orang yang melakukan perbuatan buruk. Allah berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ
“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah” (QS. Asy-Syura: 40).
Mari kita belajar kebesaran jiwa dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau pernah divonis kafir dan difatwakan halal darahnya oleh ulama waktu itu. Beliau dimasukkan penjara dan disiksa.
Salah satu tokoh yang memusuhi beliau adalah Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah masih hidup. Ibnul Qayyim Al Jauziyah –salah satu murid Ibnu Taimiyah, mengetahui kematian Ibnu Makhluf, bersegera menemui sang guru untuk menyampaikan ‘kabar gembira’ ini.
Syaikhul Islam sempat menghardik Ibnul Qayyim karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh beliau. Justru beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”.
Beliau bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan menyampaikan kepada keluarga Ibnu Makhluf, “Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.”
Perhatikan kebesaran jiwa beliau. Syaikhul Islam mendatangi rumah orang yang telah memusuhinya, dan bahkan menyantuni keluarganya.
Suatu ketika sebagian orang mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, untuk memohon maaf lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara.
“Aku telah maafkan kalian. Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan aku”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke dalam penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara. Subhanallah, betapa agung jiwa beliau.
Hanya manusia berjiwa besar yang akan memiliki keagungan dan kebesaran. Mereka menjadi mulia bukan karena harta, bukan karena gelar, bukan karena pangkat, bukan karena jabatan dan kedudukan, namun karena jiwa yang besar yang mudah memaafkan.
Sangat Banyak Perintah Memaafkan
Selain tiga kondisi di atas, masih banyak perintah dalam Al-Qur’an agar kita menjadi pribadi pemaaf. Berikut beberapa ayat yang memerintahkan untuk memaafkan, dan isyarat agar kita mudah memaafkan kesalahan orang lain.
فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka” (QS. Al-Ma’idah: 13).
فَٱصْفَحِ ٱلصَّفْحَ ٱلْجَمِيلَ
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik” (QS. Al-Hijr: 85).
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (QS. Asy-Syura: 43).
وَإِن تَعْفُوا۟ وَتَصْفَحُوا۟ وَتَغْفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. At-Taghabun: 14).
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang” (QS. Ali Imran: 134).
Semoga kita menjadi pribadi yang mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Ditulis oleh: Ustaz Cahyadi Takariawan