PEGI BELAYAR

0
143

Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, dulu sebelum pesawat terbang digunakan, orang Betawi menyebut pergi haji dengan sebutan pegi belayar karena berangkat dan pulang dengan kapal layar (kapal laut). Dikarenakan jauh dan lamanya perjalanan (kurang lebih enam bulan), keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan meridhakan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral. Bukan tangisan biasa yang terdengar tapi juga sampai ngegeloso seperti anak kecil minta maenan atau bahkan ada yang pingsan.

Menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, dulu sebelum pesawat terbang digunakan, orang Betawi menyebut pergi haji dengan sebutan pegi belayar karena berangkat dan pulang dengan kapal layar (kapal laut). Dikarenakan jauh dan lamanya perjalanan (kurang lebih enam bulan), keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan meridhakan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral. Bukan tangisan biasa yang terdengar tapi juga sampai ngegeloso seperti anak kecil minta maenan atau bahkan ada yang pingsan.

Orang-orang yang pegi belayar ini dilepas dengan pembacaan shalawat dustur  kemudian diazankan dan diiqamatkan. Dikarenakan mengunakan kapal laut maka perlengkapan yang dibawapun tidak tanggung-tanggung. Ada yang bawa cobek lengkap dengan isinya, ada yang bawa ikan gabus kering atau dendeng. Tidak dilupakan pula duit gobangan untuk kerokan. Pokoknya apapun dapat dibawa. Semua itu dimasukkan ke dalam kotak besar yang disebut sahara.

Masih menurut Yahya, sebelum berangkat orang yang akan menunaikan ibadah haji melaksanakan acara yang disebut pertemuan haji. Sanak-saudara dan tetangga diundang untuk maulid, tahlilan, mendengarkan ceramah ibadah haji dan makan bersama. Pada acara itu para tamu biasanya memberikan bekal berupa uang, apakah uang itu nantinya dibawa atau ditinggalkan untuk kebutuhan keluarga di rumah. Ada juga kekhasan lain yang barangkali tidak dilakukan di tempat lain yaitu berupa menitipkan pas foto kepada orang yang akan berangkat haji.“Tulung, ye, saye nitip foto. Kalu ude nyampe di Masjidil Haram foto saye diselipin di dalem Qur’an. Biar orangnye belon nyampe, tapi fotonye pan ude. Ngkali aje taon depan dapet panggilan.” Begitu permohonan tamu kepada jemaah haji yang akan berangkat. Permohonan itu tentu saja dikabulkan sehingga wajah sang pemohon berseri-seri.

Keberangkat jamaah haji diantar keluarga dan tetangga sekitar. Dulu jamaah haji diantar sampai karantina (PHI, asrama haji) di Cempaka Putih. Pada masa lebih terdahulu lagi, Pulau Onrust juga digunakan sebagai salah satu tempat karantina jemaah haji. Ketika masih berada di karantina pihak keluarga masih datang untuk menjenguk pagi dan sore. Jika saat keberangkatan ke pelabuhan Tanjung Priok telah tiba, pihak keluarga akan ikut mengantarnya pula. Pihak pengantar inilah yang justru sangat sibuk dan membuat suasana jadi kelihatan haru. Terkadang dalam satu kampung yang berangkat haji cuma dua orang, tapi orang sekampung ikut mengantarkannya sampai ke pelabuhan Tanjung Priok.

Pada tahun 1930-an, kapal laut pengangkut jamaah haji di pelabuhan Tanjung Priok salah satunya kapal laut Telisce. Harga tiket kapal laut Telisce untuk satu orang menuju Jeddah adalah f 185. Perjalanan laut ke Jeddah membutuhkan waktu selama dua minggu lebih, menyinggahi beberapa pelabuhan di beberapa Negara, seperti Singapura, Kalkuta (India) , sampai Djibouti di Afrika Timur untuk mengisi bahan bakar. Di kapal laut ini jangan berharap mendapatkan kenyamanan seperti naik pesawat terbang karena ukuran kapasitas muatan kapal ditentukan atas timbangan berat, bukan jumlah penumpang. Jadi bisa dibayangkan kesumpekan yang dialami para penumpang, terlebih tidak ada kamar-kamar khusus yang disediakan untuk penumpang dan ventilasi serta sanitasi yang tidak nyaman. . Sering terjadi saat memasuki laut merah dan sudah dekat dengan pelabuhan Jeddah, Telisce berhenti di tengah laut dan tidak dapat merapat karena perairan pelabuhan masih sangat dangkal.

Untuk sampai ke pantai, para penumpang dijemput perahu-perahu tongkang yang masing-masing memuat sekitar 10 orang ditambah barang-barang penting seperlunya. Sedangkan barang-barang yang berat diangkut dengan tongkang lain. Di pelabuhan Jeddah, jamaah yang berasal dari Batavia disambut oleh Syeikh Al Betawi, yang mengurus jamaah haji yang akan tinggal di Makkah selama musim haji. Setelah diterima syekh, semalaman jemaah diasramakan di tempat yang telah disediakan. Keesokan harinya, jemaah bertolak dari Jeddah ke Makkah dengan menggunakan onta yang membutuhkan waktu dua hari satu malam melintasi wilayah gersang berpasir dengan suhu yang begitu panas dan sampai di Makkah setelah Maghrib. Bandingkan dengan sekarang yang hanya beberapa jam saja. Di Makkah, jamaah tinggal di penampungan Syekh Al Betawi. Pada hari pertama di Makkah, jamaah pada umumnya melakukan thawaf di Baitullah. Walaupun mereka sudah berada di Makkah, mereka belum bisa melakukan ibadah haji karena keberangkatan mereka dari Indonesia pada bulan Rajab sehingga masih beberapa bulan lagi untuk masuk bulan haji (Dzulhijjah). Untuk mengisi waktu, jama`ah haji memperbanyak ibadah sunnah, selain ibadah wajib, terutama di bulan Ramadhan dan juga umroh berkali-kali.

Sedangkan keluarga yang ditinggalkan di rumah hanya berharap-harap cemas, apakah ayah, ibu atau keluarga lainnya selamat dalam melaksanakan ibadah haji. Hal Ini dkarenakan alat komunikasi ketika itu tidak secanggih sekarang, Keselamatan jamaah haji masih terus membayang bahkan sampai lebaran aji. Saat takbiran menggema di mana-mana keluarga di rumah menahan perasaan sedih. Ingat keluarga yang sedang berjuang di Padang Arafah yang panas. Untuk mendo`akan keselamatan kelurga di tanah suci, keluarga di rumah yang ditinggalkan melaksanakan ratiban atau tahlilan setiap malam Jum’at.

Kini, istilah pegi belayar tidak lagi populer di kalangan orang Betawi. Pesawat terbang telah memudahkan kaum muslimin, khususnya orang Betawi, untuk menunaikan ibadah haji. Kesulitan yang dialami juga berbeda. Jika dulu kesulitannya selama di perjalanan, sekarang kesulitannya adalah mendapatkan visa. Banyak calon jamaah haji yang hari ini -kata anak muda sekarang- masih galau karena visanya belum kunjung keluar. Semoga Allah mempermudahkannya. Aamiin. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here