Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. pernah diadakan secara meriah di kota Makkah bahkan sebelum peringatan tersebut diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. di kota Makkah secara meriah yang terekam dengan baik dalam sebuah buku yang berjudul Messenger of Allah: Ash-Shofa` of Al-Qadhi ‘Iyadh yang ditulis oleh Aisyah Binti Abdurrahman Bewley dan dijadikan refrensi oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani untuk bukunya yang berjudul Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi terjadi pada abad ke-10 Masehi.
Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. pernah diadakan secara meriah di kota Makkah bahkan sebelum peringatan tersebut diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193).
Prosesi peringatan maulid Nabi Saw. di kota Makkah secara meriah yang terekam dengan baik dalam sebuah buku yang berjudul Messenger of Allah: Ash-Shofa` of Al-Qadhi ‘Iyadh yang ditulis oleh Aisyah Binti Abdurrahman Bewley dan dijadikan refrensi oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani untuk bukunya yang berjudul Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi terjadi pada abad ke-10 Masehi.
Di dalam buku tersebut dikatakan bahwa ada tiga catatan saksi mata terpercaya, yaitu sejarawan Ibnu Huhayrah, Ibnu Hajar Al-Haytsami dan An-Nahrawali yang menyatakan bahwa setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah shalat isya, empat qadhi kota Makkah yang mewakili keempat madzhab Sunni dan sekelompok besar masyarakat yang meliputi para fuqaha dan tokoh kota Makkah, para syekh, para guru dan murid Alwiyah, para pemimpin dan orang-orang yang terpelajar semua meninggalkan masjid dan berangkat bersama-sama untuk berkunjung ke tempat kelahiran Nabi Saw., sambil membaca dzikir dan tahlil (laa ilaaha Illallaah). Rumah-rumah di sepanjang jalur perjalanan diterangi dengan lampu-lampu dan lilin-lilin besar. Sebagian besar orang berhamburan. Mereka mengenakan pakaian spesial dan membawa anak-anak bersama mereka. Setelah tiba di tempat kelahiran, sebuah khutbah disampaikan khusus memperingati kelahiran Nabi saw. yang menguraikan berbagai keajaiban yang terjadi pada hari peristiwa tersebut. Setelah itu, do`a dibacakan untuk khalifah, amir kota Makkah dan qadhi Syafi`i dan semuanya berdo`a dengan kerendahan hati. Sesaat sebelum shalat Isya dilaksanakan, semua orang kembali dari tempat kelahiran Rasulullah Saw. ke Masjidil Haram, yang sudah hampir penuh sesak, dan semua duduk bershaf-shaf di bawah maqam Ibrahim. Di masjid, seorang khatib membacakan tahmid dan tahlil dan sekali lagi do`a untuk khalifah, amir Makkah dan qadhi dari mazhab Syafi`i. Setelah itu, adzan untuk shalat Isya dikumandangkan. Setelah shalat, kerumunan bubar.
Prosesi peringatan maulid Nabi SAW di kota Makkah tersebut kemudian tidak lagi diadakan sejak Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa’ud atau dikenal juga dengan sebutan Ibnu Sa‘ud memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi dengan paham keagamaannya yang anti terhadap prosesi peringatan tersebut.
Namun, sebagian penduduk kota Makkah tetap saja merayakan peringatan maulid Nabi Saw. walau tanpa prosesi yang meriah seperti dulu dan dilakukan dari rumah ke rumah. Dalam memperingatinya, mereka berpegang kepada pendapat para alim ulama, terutama ulama Makkah yang disegani penguasa Arab Saudi, Dr. Al-Sayyid Muhammad bin Alawi Abbas Al-Maliki yang yang mengarang kitab berjudul Al-Nazm al-Badi` fi Maulid Al-Haadi Al-Syaafi`. Pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut:
Pertama, merayakan maulid Nabi saw. merupakan manifestasi terhadap perasaan gembira dan sukacita kepada Rasulullah saw. di Dalam Shahih Bukhari, dalam kitab Al-Nikah, Imam Bukhari telah meriwayatkan bahwa Allah Swt. telah meringankan siksaan kepada Abu Lahab setiap hari Senin disebabkan ia telah membebaskan hamba sahayanya yang bernama Tsuwaibat al-Aslamiyah yang telah menyampaikan kepadanya kabar mengenai kelahiran Rasulullah Saw. yang sangat menggembirakannya. Jika Abu Lahab, seorang yang kafir dan telah ditetapkan masuk neraka, telah mengambil faidah dari perbuatannya menyambut kelahiran Nabi Saw., tentunya kita, yang beriman kepada Allah dan kerasulan beliau senantiasa merasa gembira dengan kelahiran serta mentaati segala bimbingan dan tuntunannya, tentu akan memperoleh faidah yang jauh lebih besar daripada Abu Lahab.
Kedua, Rasulullah Saw. sendiri telah mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dan atas karunia keberadaannya di dalam wujud ini, yang dengannya telah bergembira semua yang ada, yaitu dengan berpuasa. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di dalam Shahihnya, di dalam kitab Al-Shiyam, dari Abi Qatadah bahwa Rasulullah Saw. ketika ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab,”Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu telah diturunkan wahyu kepadaku.”
Ketiga, di dalam surat Yunus ayat 58, Allah swt. berfirman yang artinya,”Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” Dengan firman-Nya tersebut, Allah swt. telah menyuruh kita bergembira dengan rahmat-Nya dan Nabi saw. merupakan rahmat Allah yang paling besar, sebagaimana yang difirmankan-Nya di dalam Al-Qur`an surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya”Dan tidaklah kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta Alam”.
Dan pada peringatan maulid Nabi Saw, di tahun ini seperti tahun-tahun yang lalu, sebagaian penduduk Makkah juga tetap memperingatinya walau dalam ruang tertutup dan dari rumah ke rumah serta tidak semeriah seperti yang disaksikan oleh Ibnu Huhayrah, Ibnu Hajar Al-Haytsami dan An-Nahrawali di abad ke-10 Masehi. Karena bagi mereka, yang terpenting bukan kemeriahaannya, tetapi semakin kuatnya iman. Tentu kita pun harusnya seperti mereka. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki