Salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. namun sedikit sekali dari kaum muslimin yang menyadarinya adalah menulis. Bahkan, Allah swt. juga memerintahkan kita untuk menulis walau dalam perintah-Nya tersebut dikaitkan dengan urusan utang-piutang. Prof. Mustafa Azami dalam bukunya yang berjudul Kuttabun Nabi mengatakan bahwa untuk urusan tulis-menulis, Rasulullah saw. mempunyai 65 sekretaris.
Salah satu sunnah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. namun sedikit sekali dari kaum muslimin yang menyadarinya adalah menulis. Bahkan, Allah swt. juga memerintahkan kita untuk menulis walau dalam perintah-Nya tersebut dikaitkan dengan urusan utang-piutang. Prof. Mustafa Azami dalam bukunya yang berjudul Kuttabun Nabi mengatakan bahwa untuk urusan tulis-menulis, Rasulullah saw. mempunyai 65 sekretaris.
Sepeninggalan Rasulullah saw., para sahabat, tabi`in, tabi`in tabi`in dan ulama salafussholih memperkuat dan mengembangkan budaya tulis-menulis dan menjadikannya sebagai tradisi kaum muslimin. Begitu pentingnya kegiatan menulis, Imam Syafi`i, salah satu imam mazhab fiqih, bahkan mengungkapan sebuah perkataan yang terkenal,”Ilmu itu bagaikan binatang liar, menulis (mencatat) adalah pengikatnya.”
Budaya dan tradisi menulis tersebut bahkan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kejayaan peradaban Islam yang mencapai puncaknya pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah. Sebagaimana yang tertulis dalam sejarah bahwa pada periode ini, secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Salah satu kegiatan keilmuan yang terkait dengan penulisan dan sangat dihargai oleh para khalifah dari dinasti ini adalah kegiatan menterjemahkan karya-karya bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Salah satu faktor yang membuat kaum muslimin, terutamanya ulamanya, begitu semangat dalam menyalin dan menterjemahkan karya-karya asing tersebut karena imbalan yang diberikan sangat tinggi untuk ukuran waktu itu bahkan juga untuk ukuran sekarang. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang melalui budaya dan tradisi menulis .
Ulama pada masa itu tidak hanya menulis persoalan agama saja, tetapi juga disiplin ilmu yang lain, seperti kedokteran, geografi, optik, kartografi, farmasi, kimia, astronomi, matematika, dan yang lainnya lengkap dengan ilustrasi yang menarik. Bahkan, sebagian besar karya mereka menjadi rujukan utama para ilmuan Barat dan menjadi masterpiece, seperti karya Ibnu Sina di bidang kedokteran yang berjudul Al-Qanun Fi Ath-Thibbi dan Asy-Syifa. Berkat karya-karyanya, mereka pun menjadi terkenal dan di tokohkan bukan saja oleh dunia Islam, tetapi seluruh dunia. Seperti Al-Khawarizmi yang dijuluki Bapak Al-Jabar (bagian ilmu dari Matematika); Al-Haitsam yang dijuluki Bapak Optik sekaligus penemu Kamera Analog; Al-Idrisi yang dijuluki Bapak Kartografi dari pulau Sisilia; Al-Biruni yang dijuluki Bapak Indologi (studi tentang India), Bapak Geodesi dan Antropolog Pertama selain sebagai astronom terkemuka yang namanya diabadikan untuk satu kawah di bulan; Ibnu Khaldun dijuluki Bapak Ekonomi dan Bapak Sosiologi, dan ulama lainnya.
Walau kemudian peradaban Islam tenggelam yang salah satu sebab utamanya karena ketidakmampuan para khalifah mempertahankan kekuasaannya, tradisi menulis di kalangan ulama tidaklah luntur, tak terkecuali ulama Indonesia. Khusus di Betawi, menurut Ridwan Saidi, puncak produktivitas menulis ulama Betawi terjadi pada pertengahan abad ke-19 hingga dasawarsa pertama abad ke-20. Setelah era itu, ulama Betawi tidak terlalu banyak yang menulis dan melahirkan karya-karya yang monumental. Namun kini, usaha untuk menggiatkan peran ulama Jakarta, khususnya ulama Betawi, untuk menulis tidaklah kendur. Salah seorang ulama Betawi yang getol mengajak ulama lainnya untuk menulis adalah Dr. KH. Ahmad Lutfi Fathullah Mughni, MA Ia sendiri adalah ulama yang rajin menulis dan telah menghasilkan banyak karya yang tidak hanya dalam bentuk buku tetapi juga software CD interaktif.
Menyadari pentingnya peningkatkan kapasitas kaum muslimin di dalam kegiatan penulisan sebagai salah satu faktor untuk memajukan peradaban Islam, maka Jakarta Islamic Centre (JIC) sejak setahun yang lalu mengadakan pelatihan menulis, baik fiksi dan non-fiksi. Pelatihan ini akan diadakan kembali pada hari Ahad, 1 Mei 2011 di JIC yang dikhususkan pada penulisan artikel lepas dan karya ilmiah Islami dengan instruktur Thobieb El-Asyhar dan lain-lain. Bagi yang berminat, dapat mendaftarkan diri ke JIC di Jl. Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara via Lala, Dewi atau Lia. Untuk informasi, dapat menghubungi nama-nama tersebut di (021) 4413069, (021) 44835349, (021) 99550754 (Lia), dan 081314165949 (Kiki). ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Staf Seksi Pengkajian Bidang Diklat JIC