Pawai ogoh-ogoh yang diadakan di Silang Monas, Jakarta, Senin (11/3/2013) dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi juga menampilkan ondel-ondel ukuran raksasa. Ondel-ondel tersebut memang khas dari Betawi, dan ini yang disayangkan karena diikutsertakan dalam sebuah pawai keagamaan di luar Islam dan jelas-jelas untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Harus diakui, Ini bentuk kekhilafan para seniman Betawi yang mengikuti pawai tersebut dan kudu banyak-banyak istighfar karena mengikutsertakan ondel-ondel dalam pawai tersebut, dan ini harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang lagi. Khilaf karena ondel-ondel telah menjadi indentitas etnik Betawi, etnik muslim. Dengan kata lain, ondel-ondel tidaklah bebas nilai, bukan sekedar produk budaya an sich, ia punya agama, agamanya Islam. Istilah kawan saya yang seniman Betawi: Ondel-ondel udah disunatin.
Pawai ogoh-ogoh yang diadakan di Silang Monas, Jakarta, Senin (11/3/2013) dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi juga menampilkan ondel-ondel ukuran raksasa. Ondel-ondel tersebut memang khas dari Betawi, dan ini yang disayangkan karena diikutsertakan dalam sebuah pawai keagamaan di luar Islam dan jelas-jelas untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Harus diakui, Ini bentuk kekhilafan para seniman Betawi yang mengikuti pawai tersebut dan kudu banyak-banyak istighfar karena mengikutsertakan ondel-ondel dalam pawai tersebut, dan ini harus dijadikan pelajaran agar tidak terulang lagi. Khilaf karena ondel-ondel telah menjadi indentitas etnik Betawi, etnik muslim. Dengan kata lain, ondel-ondel tidaklah bebas nilai, bukan sekedar produk budaya an sich, ia punya agama, agamanya Islam. Istilah kawan saya yang seniman Betawi: Ondel-ondel udah disunatin.
Kawan saya, Bachtiar, pemimpin Sanggar Si Pitung di Rawa Belong, punya cerita yang mirip seperti ini. Ia sebel bukan kepalang ketika tahu ondel-ondel buat pajangan miliknya dipinjam buat ngarak pendeta dan dikalungi palang (salib). Dia bilang,”Akhirnye, ondel-ondel ane satu pasang ade yang murtad.”
Jika menilik sejarahnya, dulu orang Betawi tidak mengenal nama ondel-ondel, tapi menamai boneka dengan rambut terbuat dari ijuk dengan sebutan barong. Menurut salah seorang sesepuh etnik Betawi, Irwan Sjafi`i (Bang Fi`i) yang tahun ini usianya genap 83 tahun, yang memberikan nama barong di Betawi dengan nama ondel-ondel adalah seniman Benyamin S. melalui lagu yang dibuat dan dinyanyikannya berjudul “Ondel-Ondel” yang mulai dikenal secara nasional sekitar tahun 70-an. Barulah pada lagu ini barong Betawi yang udah berganti nama menjadi ondel-ondel punya anak, sebelumnya nggak punya anak, seperti bunyi dari bait pertama dari lirik lagu tersebut:
Nyok kite nonton ondel-ondel (nyok!)
Nyok kite ngarak ondel-ondel (nyok!)
Ondel-ondel ade anaknye (boi!)
Anaknye ngigel ter-kiteran (oi!)
Menurut Bang Fi`i dari cerita kakeknya bahwa dulu orang Betawi memiliki keyakinan jika pera atau padi dilindungi oleh Dewi Sri. Dewi Sri ini bisa diganggu oleh iblis-iblis kecil sehingga sering membuat gagal panen. Maka, orang Betawi membuat barong (ondel-ondel) sebagai perwujudan Si Raja Iblis yang dapat mengusir iblis-iblis kecil dengan mengarak barong keliling sawah sehingga tidak mengganggu lagi Dewi Seri. Karena Raja Iblis, wajah barong diibuat seseram mungkin dengan mata besar melotot dan gigi bertaring keluar. Ini berbeda dengan wajah ondel-ondel sekarang yang ganteng dan cantik. Tapi karena memang awalnya merupakan perwujudan dari Si Raja Iblis, maka Bang Fi`i menjadi salah satu orang atau tokoh Betawi yang tidak setuju jika ondel-ondel dijadikan salah satu produk budaya Betawi yang perlu dilestarikan apalagi dijadikan simbol Betawi.”Ngapain Raja Iblis dijadiin simbol,”begitu katenye.
Berbeda dengan Bang Fi`i, kebanyakan tokoh, seniman, budayawan, dan masyarakat Betawi memahami ondel-ondel sebagai produk kebudayaan Betawi yang udah populer sehingga perlu dilestarikan, dan tidak mengapa juga jika dijadikan simbol. Toh yang penting nawaitu dan fungsi ondel-ondel sekarang hanya untuk hiburan.
Namun walau berfungsi sebagai hiburan, ondel-ondel tetap tidak bebas nilai, ondel-ondel itu punya agama, Islam agamanya. Karenanya, ondel-ondel harus dijaga agar tidak tercemar dan tidak diikutsertakan pada perayaan agama lain karena memang ada upaya dari kelompok-kelompok agama lain yang terus-menerus melakukan rekacipta kebudayaan, terutama kebudayaan Betawi. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh Prof Dr Yasmine Zaki Shahab bahwa ada fenomena untuk mengindentikkan non-Islam dengan Betawi. Padahal, menurutnya, Betawi identik dengan Islam, bicara Betawi berarti bicara Islam, bicara kebudayaan Betawi berarti juga bicara tentang kebudayaan Islam. Hal ini bahkan telah dikenali, diakui, amat ditekankan dan ditegaskan oleh para penulis ataupun pengamat Betawi, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Ahli ilmuilmu sosial, linguistik, pegawai pemerintah, wartawan, dan orang awam tanpa terkecuali, mendukung pendapat ini. Salah satu fenomena yang dicermatinya adalah fenomena masyarakat Kampung Sawah yang non-Muslim, yang entah siapa sponsor dan aktornya melakukan rekacipta kebudayaan: seolah-olah masyarakat Kampung Sawah non-Muslim bagian dari masyarakat Betawi, yang laki-laki berpeci dan berkalungkan sarung, yang perempuan mengggunakan kerudung dalam beribadah dan peringatan. Bahkan setiap perayaan hari besarnya, tampilan seperti itu diliput secara besar-besaran oleh media massa. Padahal dalam kajian sejarah, masyarakat Kampung Sawah non-Muslim bukanlah masyarakat Betawi dan dahulu dalam beribadah mereka tidak seperti itu. Ironisnya, tidak ada upaya yang signifikan dari masyarakat dan elite Betawi untuk melakukan counter atau perlawanan terhadap rekacipta dan pembentukan opini tersebut. Maka, melalui ondel-ondel juga, rekacipta dan pembentukan opini tengah dilakukan. Waspadalah! ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC