Tamu Agung, bulan Ramadhan 1434H, telah hadir bersama kita. Dia hadir membawa keberkahan dari Allah SWT, dan keberkahan terbesar adalah Lailatul Qadar. Namun, sebagian kita sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dikunjungi Si Tamu Agung dan menjamunya selama tiga puluh hari, tapi belum pernah mendapatkan Lailatul Qadar. Sedangkan Rasulullah SAW dengan mudah bisa menjumpai dan mendapatkan Lailatul Qadar, apa resepnya?
Resepnya adalah Ikuti bagaimana Rasulullah SAW menjamu Tamu Agungnya, Ramadhan. Selain itu, yang dibahas pada tulisan ini, kita perlu mengetahui sosok Sang Tamu Agung dan sosok Rasulullah SAW. Dengan mengenal keduanya dan mengetahui hubungan keduanya, insya Allah kita dengan mudah mendapatkan Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan ini.
Tamu Agung, bulan Ramadhan 1434H, telah hadir bersama kita. Dia hadir membawa keberkahan dari Allah SWT, dan keberkahan terbesar adalah Lailatul Qadar. Namun, sebagian kita sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dikunjungi Si Tamu Agung dan menjamunya selama tiga puluh hari, tapi belum pernah mendapatkan Lailatul Qadar. Sedangkan Rasulullah SAW dengan mudah bisa menjumpai dan mendapatkan Lailatul Qadar, apa resepnya?
Resepnya adalah Ikuti bagaimana Rasulullah SAW menjamu Tamu Agungnya, Ramadhan. Selain itu, yang dibahas pada tulisan ini, kita perlu mengetahui sosok Sang Tamu Agung dan sosok Rasulullah SAW. Dengan mengenal keduanya dan mengetahui hubungan keduanya, insya Allah kita dengan mudah mendapatkan Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan ini.
Sang Tamu Agung
Seperti apa sosok Ramadhan, Sang Tamu Agung ini? Ia adalah makhluk dalam bentuk waktu. Ia datang dan tinggal bersama umat Islam paling lama 30 hari. Ia sosok tamu sejati, tidak pernah bosan untuk berkunjung. Ia juga tamu yang baik, amanah dan dermawan. Tdak khianat dan tidak pelit untuk membagi oleh-oleh keberkahan yang dititipkan Sang Maha Pencipta untuk umat Muhammad SAW. Kata agung yang disandangnya dan Lailatul Qadar yang dibawanya salah satunya bersumber dari hadits Salman al-Farisi ra. Ia berkata,” Bahwa Rasulullah SAW di akhir bulan Sya`ban berkhutbah kepada kami, beliau bersabda, “Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) di dalamnya lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu`). Barangsiapa (pada bulan itu) mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran itu balasannya surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong, di mana di dalamnya rezki seorang Mukmin bertambah (ditambah). Barangsiapa (pada bulan itu) memberikan bukaan (ifthâr) kepada seorang yang berpuasa, maka itu menjadi maghfirah (pengampunan) atas dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka dan ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa (itu) sedikitpun.” Kemudian para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan sebagai bukaan orang yang berpuasa.” Rasulullah SAW berkata, ” Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan bukaan dari sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.” (HR Baihaqî).
Sang Makhluk Cahaya
Siti Aminah menceritakan pada waktu melahirkan, dia merasakan di sekelilingnya ada cahaya gemerlap bagaikan bintang berjatuhan. Pada waktu itu kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib sedang berada di Ka’bah, mendengar cucunya lahir Abdul Muthalib pulang dan merasa bangga serta gembira karena cucu yang dinantikan sudah lahir. Kemudian Abdul Muthalib memberi nama Muhammad artinya “orang yang terpuji”.
Karena ruh Rasulullah, Muhammad SAW, adalah ruh yang pertama kali diciptakan, maka ketika ruh tersebut terkurung di dalam jasad, tetap saja jasad Muhammad SAW. Tidak dapat menghalangi terangnya cahaya Muhammad SAW. Dengan kata lain, jati diri ruh lebih menonjol daripada jati diri jasad.
Dikisahkan: Ibnu Abbas menuturkan, “Sosok Rasulullah belum pernah ada bayangannya. Jika beliau berdiri sedangkan matahari bersinar, maka sinar yang terpancang dari beliau mengalahkan sinarnya matahari. Begitu pula jika beliau berdiri di tengah cahaya lampu, maka cahaya beliau lebih terang daripada cahayanya lampu.” (HR. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir). Selain Ibnu Abbas, redaksi hadits ini diriwayatkan pula oleh Jabir bin Samurah). Terakhir hadits yang menyatakan bahwa pernah suatu kali Nabi Muhammad saw. masuk ke rumah Siti Aisyah r.a. di waktu tengah malam. Tatkala itu Siti Aisyah sedang menjahit bajunya Nabi Muhammad SAW. Tatkala Siti Aisyah sedang asyik menjahit baju Nabi Muhammad saw, tiba-tiba jarum yang dipakai Siti Aisyah untuk menjahit baju Nabi Muhammad SAW terjatuh dan lampu yang digunakan untuk menjahit itu juga terjatuh sehingga padamlah lampu itu. Tatkala Siti Aisyah sedang mencari-cari jarum yang terjatuh itu, karena gelap tidak terlihat, tiba-tiba muncullah Nabi Muhammad SAW maka ruangan yang ada di situ menjadi terang benderang dengan cahaya wajahnya Nabi Muhammad SAW sehingga Siti Aisyah dengan mudah mengambil jarum yang terjatuh itu. Tatkala itu Siti Aisyah mengambil jarum sambil melihat wajah Nabi Muhammad SAW sambil berkata, “Alangkah terang wajahmu Ya Nabi.” Maka berkatalah Nabi, “Celakalah orang yang tidak melihat wajahku di hari kiamat, wahai Aisyah.” Maka Siti Aisyah bertanya kepada Nabi , “Siapa orang yang tidak dapat melihatmu nanti di hari kiamat, Ya Rasulullah?”. “Orang yang disebutkan namaku dihadapannya tapi tidak mau bershalawat kepadaku,” kata Nabi Muhammad SAW.
Akhir kalam, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun seorang muslim melakukan puasa di bulan Ramadhan dengan menerapkan seluruh sunnah atau tata cara Rasulullah SAW, orang itu tidak akan pernah mendapatkan keberkahan bulan Ramadhan secara utuh, tidak akan pernah mendapatkan Lailatul Qadar, sebagaimana yang Rasulullah SAW dapatkan. Tidak akan pernah, jika jasad dan kebutuhan-kebutuhan jasmani begitu mendominasi dalam melayani Sang Tamu Agung sedangkan ruh dibiarkan terpendam dan diperdaya oleh jasad, sekalipun tata caranya sudah sesuai dengan yang Rasulullah SAW ajarkan. Karena Rasulullah SAW menjalankan hidup sehari-hari sampai wafat dengan ruhnya, dengan cahaya yang terang-bederang. Terlebih di bulan Ramadhan, di mana ada Lailatul Qadar yang menurut Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran, ia, Lailatul Qadar bermandikan cahaya Allah, cahaya malaikat, dan cahaya roh sampai terbit cahaya fajar. Jadi jelaslah dan sangat wajar jika Rasulullah SAW sangat mudah mendapatkan Lailatul Qadar karena hanya cahaya yang dapat menangkap dan menyatu dengan cahaya . ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Seksi Pengkajian JIC












