SEORANG MANAJER DAN SEEKOR BURUNG YANG CACAT

0
294

Seorang manajer yang akan memasuki masa pensiun, sebut saja Tuan X, dikenal sebagai pekerja keras. Namun selain bekerja, ia juga rajin mengikuti kajian-kajian ke-Islaman, terutama tasawuf dan ia memiliki seorang guru pembimbing. Ia tipe seorang pekerja keras yang juga keras belajar.

Pada suatu pagi, seperti hari-hari kerja yang ia lalui, Tuan X mengeluarkan mobilnya dari garasi. Namun pagi ini ada yang berbeda. Ia tidak segera tancap gas menuju kantor. Baru saja mobilnya keluar perlahan dari garasi, ia matikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia melihat di pohon yang terletak persis di depan samping garasinya ada sebuah sarang burung. Di sarang burung tersebut, ia melihat seekor burung sendirian dengan sayap yang patah dan sepertinya matanya buta. Dengan kondisi seperti itu, burung tersebut tentu tidak bisa terbang untuk mencari makan. Tuan X bergumam,”Bagaimana si burung itu bisa makan jika cacat seperti itu? Bukankah setiap makhluk pasti Allah kasih rezekinya? Jika benar Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang pastilah burung itu tidak akan mati kelaparan. Tapi bagaimana ia bisa makan?”

Seorang manajer yang akan memasuki masa pensiun, sebut saja Tuan X, dikenal sebagai pekerja keras. Namun selain bekerja, ia juga rajin mengikuti kajian-kajian ke-Islaman, terutama tasawuf dan ia memiliki seorang guru pembimbing. Ia tipe seorang pekerja keras yang juga keras belajar.

Pada suatu pagi, seperti hari-hari kerja yang ia lalui, Tuan X mengeluarkan mobilnya dari garasi. Namun pagi ini ada yang berbeda. Ia tidak segera tancap gas menuju kantor. Baru saja mobilnya keluar perlahan dari garasi, ia matikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia melihat di pohon yang terletak persis di depan samping garasinya ada sebuah sarang burung. Di sarang burung tersebut, ia melihat seekor burung sendirian dengan sayap yang patah dan sepertinya matanya buta. Dengan kondisi seperti itu, burung tersebut tentu tidak bisa terbang untuk mencari makan. Tuan X bergumam,”Bagaimana si burung itu bisa makan jika cacat seperti itu? Bukankah setiap makhluk pasti Allah kasih rezekinya? Jika benar Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang pastilah burung itu tidak akan mati kelaparan. Tapi bagaimana ia bisa makan?”

Tidak lama setelah Tuan X bergumam, ia melihat seekor burung lainnya terbang dan hinggap di sarang tersebut. Burung yang hinggap itu kemudian memberikan makan kepada burung yang cacat. “Subhanallah, Ya Allah, Engkau Maha Pemberi Rezeki.” ucap Tuan X dengan nada takjub melihat peristiwa yang luar biasa di depan matanya.

Cukup lama Tuan X terdiam sambil memandang burung yang cacat tersebut menikmati rezekinya. Lalu, ia masuk kembali ke dalam mobil dan mesin mobil kembali dinyalakan. Tetapi, mobil tersebut tidak berjalan ke depan meninggalkan rumah, melainkan ia mundurkan dan memasukkan kembali ke dalam garasi.

Tuan X kembali masuk ke dalam rumah. Istrinya yang sedang memasak terheran-heran melihat perbuatan Tuan X namun tidak sempat bertanya karena Tuan X langsung berkata,”Ma, hari ini saya tidak masuk kantor dulu. Ada yang harus saya selesaikan.“

Tuan X langsung masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam. Sambil rebahan, ia bergumam,” Mulai hari ini, saya tidak perlu kerja lagi. Saya akan segera menghadap ke pimpinan untuk mengajukan pengunduran diri. Saya mau habiskan hidup saya untuk beribadah kepada Allah SWT. Toh sebagian anak sudah kerja. Tinggal si bungsu yang masih sekolah, tapi biarlah ia menjadi tanggungan kakak-kakaknya. Begitu pula istri. Allah SWT telah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada saya hari ini. Burung cacat yang tidak bisa terbang saja tetap Allah jamin rezekinya. Tentu saya juga. Jika Allah sudah menjamin rezeki saya, mengapa saya harus kerja lagi?”

Tuan X kemudian terdiam sambil terus memandang langit-langit kamarnya. Tidak lama kemudian ia mengambil HP.”Tapi, saya perlu meminta pendapat guru saya dulu,”gumamanya.

“Assalaamu`alaikum. Halo, Pak Kyai, apa kabar?” ucapnya ke HP.

“Wa`alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakaatuh. Alhamdulillah, kabar saya baik. Ada apa ya? tumben nelepon saya,” jawab Pak Kyai.

“Begini Pak Kyai. Tadi sebelum kerja, saya melihatseekor burung di sarangnya sendirian dengan sayap yang patah dan sepertinya matanya buta. Pak Kyai, dengan kondisi seperti itu, burung tersebut pasti tidak bisa terbang untuk mencari makan. Saya berkata sendiri,’Bagaimana si burung itu bisa makan jika cacat seperti itu? Bukankah setiap makhluk pasti Allah kasih rezekinya? Jika benar Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang pastilah burung itu tidak akan mati kelaparan. Tapi bagaimana ia bisa makan?’ Tidak lama saya berkata seperti itu, seekor burung lainnya terbang dan hinggap di sarang tersebut. Burung yang hinggap itu kemudian memberikan makan kepada burung yang cacat. Subhanallah, peristiwa di depan mata saya ini betul-betul mengguncang diri saya, Pak Kyai. Saya ingin berhenti bekerja, Pak Kyai. Toh saya sebentar lagi pensiun, sebagian anak-anak udah kerja, yang masih jadi tanggungan saya biarlah anak-anak saya yang udah kerja itu yang mengambil alih. Saya betul-betul ingin menghabiskan sisa hidup saya untuk ibadah kepada Allah.”

Pak Kyai dengan bijak berkata,” Kamu salah mengambil pelajaran. Bukan itu yang Allah maksud dengan memperlihatkan kekuasaan-Nya kepadamu melalui burung-burung itu. Allah ingin kamu tetap seperti burung yang datang dan memberikan makan, bukan menjadi burung yang cacat itu. Bukankah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda,”Tangan di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah?”

Tuan X terdiam, tertegun mendengar perkataan gurunya. Setelah mengucapkan salam kepada Pak Kyai dan menutup HP-nya, ia bergegas bangkit dan keluar kamar menuju garasi mobil sambil berteriak kepada istrinya yang sedang asyik memasak,”Ma, saya ke kantor dulu ya.”

Kisah di atas merupakan saduran yang dimodifikasi oleh saya dari dialog seorang tokoh sufi terkemuka, Ibrahim bin Adham dengan seorang temannya, Syaqiiq Al-Balkhi. Saya mengangkat kisah ini karena melihat masih ada pemahaman yang salah dari umat Islam tentang zuhud dan juga tentang spiritualitas Islam. Zuhud bukanlah meninggalkan harta benda dan pekerjaan untuk kemudian asyik sendiri untuk total beribadah kepada Allah, tetapi bagaimana ibadah, harta beda dan pekerjaan dapat bermanfaat bagi orang lain sampai akhir hayatnya. Spiritualitas Islam juga bukan asketisme, bukan mematikan raga untuk mendapatkan kepuasaan ruhani. Tetapi, spritualitas Islam adalah spiritualitas kerja yang mendorong seseorang untuk menjadi pekerja keras seperti sabda Rasulullah SAW,“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang berkarya. Dan barangsiapa bekerja keras untuk keluarganya maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad).

Maka untuk meningkatkan spiritualitas kerja umat Islam dengan pendekatan qalbu ihsani, Jakarta Islamic Centre (JIC) , dalam rangka Milad 10 Tahun JIC, mengadakan Pelatihan Qalbu Linguistic Programming (QLP) for Human Capital Development yang ditujukan kepada para manajer SDM perkantoran di DKI Jakarta pada hari Sabtu, 15 Juni 2013 dari jam 08.00 s/d 16.00 WIB di Ruang Audio Visual JIC tanpa dipungut biaya bersama Master Trainer KH. Wahfiudin Sakam, SE, MBA dan Ustadz Abdul Latif, SE, MA dan bintang tamu Sandiaga Uno. Bagi Anda yang berminat menjadi peserta pelatihan tersebut dapat mendaftar ke 082124348581, 081314165949. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Seksi Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eight − six =